Minggu, 22 Agustus 2010

Keracunan Akut Yellow Oleander (Thevetia peruviana)

Keracunan Akut Yellow Oleander (Thevetia peruviana): aritmia jantung, gangguan elektrolit, dan konsentrasi serum glikosida Pada Rumah Sakit


Yellow oleander (Theventia peruviana) adalah suatu tanaman hias dari suku Apocynaceae yang umumnya terdapat didaerah tropis dan subtropics. Getahnya mengandung glikosida jantung yang toxic terhadap otot jantung dan system syaraf otonom. Biji yang tercerna menunjukkan gambaran klinik mirip dengan overdosis digitoxin. Keracunan parah dapat menyebabkan pasien meninggal pada shock resistant ventricular fibrilation. Banyak pasien dengan keracunan ”sedang” menunjukkan perpanjangan interval PR dan peningkatan terhadap dissosiasi atrioventricular (AV).
Kejadian keracunan secara kebetulan di seluruh penjuru tropis sebagian terjadi pada anak-anak, orang dewasa meninggal setelah mengkonsumsi daun oleander pada teh herbal. Bahkan penggunaan biji yellow oleander yang diminum secara langsung menjadi metode bunuh diri yang populer di sri langka bagian utara. Ada ribuan kasus tiap tahun dengan kasus fatal rata-rata sedikitnya mencapai 10%. 40% diantaranya memerlukan penanganan khusus dan dipindahkan dari rumah sakit sekunder di utara ke Institut Kardiologi di Colombo untuk langkah sementara.
Kami telah melakukan study selama 3 tahun terakhir sebagai usaha untuk mengembangkan pengatasan dari keracunan ini. Diwaktu yang sama, kami juga mencoba untuk mencatat kenampakan elektrocardiograph dan biokimia dari kondisi ini dan membandingkannya dengan artikel tentang overdosis digoxin.

Metode
Pasien dan study site
Pasien yang diamati adalah pasien yang menjalani pemeriksaan di naungan terpisah RS umum Anuradhapura selama bulan Juni-September 1995 dan Desember-Maret 1997, dan di Coronary Care Unit (CCU) Institut cardiologi Colombo, selama Maret-Oktober 1997. RS umum Anuradhapura merupakan RS utama pusat kesehatan untuk kota Colombo dan daerah di daerah sekitarnya. RS itu juga merupakan RS sekunder untuk 750.000 orang yang tinggal di distrik Anuradhapura, menerima semua pasien keracunan oleander yang terjadi di berbagai klinik dan rumah sakit melintasi distrik tersebut. CCU di Colombo merupakan pusat kardiologi ke-3 dengan fasilitas untuk langkah sementara untuk semua pulau.
Di Anuradhapura, ECG diambil selama ”standar work up” masing-masing pasien atau ketika mesin ECG ada, ritme jantung direkam dari 3 monitor utama.
Pasien yang diamati di Colombo adalah bagian dari uji poliklonal antidigoxin Fab pada keracunan oleander. Tiap pasien yang diperbolehkah masuk di CCU dengan kasus keracunan oleander, diamati oleh tim peneliti dan ECG nya direkam. Pasien dengan tingkat AV blok kedua atau ketiga, sinus bradikardia sinus atau exit block atau takiaritmia atrial dianggap sebagai keracunan parah dan diterima untuk study ini.

Biokimia
Sampel darah diambil dari masing-masing pasien dalam pengawasan di Anuradhapura dan dari Colombo pasien direkrut untuk kemudian dipilih sebagai kontol percobaan acak. Semua sampel disentrifugasi selama 60 menit serum akan terlepas dan disimpan pada suhu -20°C. Sampel segera dipindah dalam dry es dan dicairkan hanya sekali segera sebelum analisis.
Gambaran biokimia diselesaikan di lab kimia RS Homerton London menggunakan teknik standar otomatis. Digoxin yang dicampur dengan serum glikosida jantung diukur menggunakan polarisasi pengujian fluoroimuno untuk digoxin (innofluordigoxin Assay sistem, Oxis International Inc., Portland, Oregon, USA on Abboti TDx machine).

Hasil
Level perawatan primer dan sekunder (RS umum Anuradhapura)
Sampel ECG dan darah diambil dari 118 pasien yang ada di RS umum Anuradhapura dengan riwayat mengkonsumsi biji yellow oleander. Pasien muda (rata-rata umur 23,9 th): 57%nys adalah wanita. Hampir semua sebelumnhya dalam keadaan sehat; hanya 1 dilaporkan dalam pengobatan., yaitu gadis 17 tahun dengan penyakit reumatik jantung yang mengkonsumsi 0,25 mg digoxin/hari.
ECG normal ditemukan sebanyak 43%. Banyak dari pasien lain menunjukkan kondisi abnormal pada sinus node/AV node. Beberapa pasien yang dipindahkan ke Anuradhapura menitikkan isoprenalin dan takikardik dalam pengawasan.
Dokter Anuradhapura mengirim semua pasien dengan tingkat AV blok ke-2/ke-3, menandai sinus brakikardia, atau atrial takikaritmia kepada CCU di Colombo. Tingkat potassium tidak diukur sebelum transfer, semua keputusan diambil hanya berdasar pada ritme jantung.
Rata-rata Serum digoxin dicampur dengan glikosida jantung reaktif dan konsentrasi potasium ditinggikan secara signifikan pada pasien yang dipindah: 3,00 nmol/l, glikosida jantung 1,49 nmol/l dan 5,4nmol/l potasium 4,3mmol/l (keduanya p
Gambaran biokimia ditunjukkan dalam subset, dari 53 pasien. Kreatin kinase (CK) meningkat pada 14 pasien (rentang 203-1124 IU/l). Meskipun ini tidak berhubungan dengan keparahan kardiotoksisitas (CK 201,3 IU/l pada pasien yang dipindah/meninggal. 202,8 IU/l pada pasien yang meninggal tanpa penanganan khusus).
Enzim hati normal pada 49 pasien: 3 mengalami sedikit kenaikan harga sewaktu harga γ glutamyl transferase 1112 IU/l dan aspartat transainase 101 IU/l. Kreatin dan urea meningkat pada seorang pasien (kakek 70th), urea sendiri meningkat pada 3 pasien. Glukosa darah acak lebih besar dari 11 mmol/l dalam 6 pasien (rentang 11,2-38,3 mmol/l). Serum protein terdapat normal dalam ke 53 pasien.

Outcomes
2 pasien meninggal dan 52 membutuhkan dipindah ke CCU Colombo. Sedikitnya seorang meninggal selama menunggu. 64 pasien lainnya dirawat sesuai dengan gejala-gejalana dan dinyatakan sembuh. 4 pasien meninggal ketika sampai di RS sebelum sampel darah maupun ECGnya dapat diambil, dan data tersebut tidak dibahas disini. Sampel serum diambil dari 2 pasien yang meninggal di RS dan dari pasien yang meninggal dalam perjalanan ke Colombo. Kedauanya menunjukkan tanda gangguan elektrolit.
KD 019 adalah seorang perempuan 16 tahun yang dilaporkan 5 jam setelah makan 8 biji oleander memiliki gangguan hari tingkat 3 dan konsentrasi glikosida jantungnya adlaah 22 mmol/l, serum potasium 8,3 mmol/l dan serum magnesiumnya 1,34 mmol/l.
KD 025 adalah seorang lelaki yang dilaporkan 3 jam setelah makan 5 biji dengan kerusakan AV node dan konsentrasi glikosida jantungnya 5,91 nmol/l, serum potasium 10,8 mmol/l dan serum magnesium 1,05mmol/l. Paien tersebut meniggal dalam perjalanan menuju Colombo.
KD 046 adalah seorang pemuda berumur 17 tahun yang dilaporkan 8 jam setelah makan 2 biji dengan gangguan AV node tingkat kedua, konsentrasi glikosida jantungnya 4,93nmol/l, serum potasium 5,9nmol/l, dan serum magnesium 0,84nmol/l.

Tingkat Ketiga dari Health Care (CCU Colombo)
2023 pasien dengan riwayat keracunan oleander dapat ditemukan di CCU Colombo setelah dipindahkan dari RS sekunder di daerah utara pulau. Sebagian besar pasien adalah orang muda (rata-rata berusia 24,6 th, antara 10-67th) dan sebelumnya sehat. 59% dari pasien tersebut adalah wanita. Riwayat kesehatan medis sebelumnya diambil dari pasien yang akan diuji: 1 pemuda berumur 16 th memiliki diagnosa asma namun tidak menjalani perawatan, seluruh pasien yang lain sehat.
Detak jantung pasien yang akan diuji klinik terdapat di tabel 1 (Terlampir). Walaupun kebanyakan pasien menunjukkan aritmia tertentu (tipikal) di peripheral hospital, 40% nya telah kembali ke detak sinus regular, seperti saat mereka tiba di CCU. Sedikit pasien menunjukkan tanda kardiotoksisitas, tetapi bebrapa kemajuan dari ECG normal ke gangguan AV aatau sick sinus sindrom melebihi jam selanjutnya kemungkinan karena melanjutkan absorpsi glikosida jantung dari saluran gastrointestinal.

Pasien dengan beberapa cardiotoxisitas
89 pasien yang direkrut pada percobaan memiliki kardiotoksisitas yang keras. Kebanyakan aritmia yang biasa terjadi mempengaruhi sinus node (sinus brakikardia 25%, sinus arrest atau exit blok 62%) atau AV node (gangguan hati tingkat kedua atau ketiga sebanyak 53%). 30% pasien ditandai dengan kondisi baik sinus dan AV node (tabel 3).
Elektrolit dan konsentrasi serum glikosida jantung dari 88 pasien (sampel darah tidak dapat diambil dari pasien yang meninggal dunia). Nilai rata-rata untuk digoxin berbanding terbalik dengan glikosida jantung, potasium, dan magnesium (tabel 2).

Ritme jantung dan serum glikosida jantung dan konsentrasi elektrolit
Untuk memeriksa hubungan antara tingkat serum glikosida konsentrasi elektrolit dan detak jantung, 50 pasien diamati di Anuradhapura dengan ECG normal dibandingkan dengan 63 pasien dengan tanda aritmia yang dirawat i Colombo. Konsentrasi serum glikosida jantung diplotkan berlawanan dengan serum potasium (gambar 2.a) dan magnesium (gambar 2.b) untuk anggota tiap kelompok.
Disana dapat dilihat dengan jelas hubungan antara serum glikosida jantung dan konsentrasi potasium. Hubungan antara glikosida jantung dan konsentrasi potasium memiliki nilai r=0,70; pasien yang dianalisis dengan detak normal memiliki nilai r=0,68 dan pasien yang detaknya tidak normal memiliki r=0,79 (nilainya tidak berbeda signifikan). Untuk semua pasien yang diambil bersamaan atau untuk dua kelompok, tidak ada hubungan antara serum magnesium dan glikosida jantung.
Pasien dengan tanda aritmia kemudian dikelompokkan menurut apakah aritmianya karena ketidaknormalan AV node (20 pasien) atau keduanya (18 pasien). Rata-rata serum glikosida jantung, potasium dan konsentrasi magnesium kemudian dihitung (tabel 4). Tingkat serum glikosida jantung diplotkan berlawanan dengan konsentrasi serum potasiu (gambar 3.a) dan magnesium (gambar 3.b) untuk anggota-anggota kelompok tersebut.
Disana tidak menunjukkan hubungan antara sisi blok penghubung dan serum glikosida atau nilai elektrolit. Namun rata-rata konsentrasi serum glikosida jantung pada pasien dengan gangguan AV node dan sinus node lebih tinggi dibanding pasien dengan gangguan hanya pada masing-masing sinus node (p=0,016, ANAVA).



Diskusi
Penyakit yellow oleander yang sangat cepat menyebar di Sri langka bagian utara merupakan suatu kesempatan untuk mempelajari lebih detail tentang peristiwa keracunan yang tidak umum terjadi di bagian belahan dunia tropis lain. Salah satu dari semua jurnal yang telah dilaporkan lebih dari 13 kasus, salah satunya melaporkan bahwa ada 170 kasus termasuk tanpa data ECG atau biokimia. Study terbaru dari 351 pasien adalah penelitian pertama yang memberikan informasi mengenai penyakit yellow oleander ini.
Keracunan yellow oleander mirip dengan kasus digoxin. Namun rata-rata umur pasien yang mengalami overdosis digoxin secara tidak sengaja lebih tua dibandingkan pasien yang menggunakan biji oleander: 75 tahun di salah satu penelitian dari 219 pasien di amerika dibanding 24,8 tahun dari 415 pasien oleander di Sri lanka. Diantara pernah juga di percobaan bunuh diri di Prancis dengan digoxin, satu pasien diduga lebih muda, hanya 29% yang lebih sedikit dari 40 tahun, dan 39% yang lebih tua dari 60 tahun.
Kebanyakan pasien kami dalam keadaan sehat sebelum memakan biji oleander. Ini yang membedakan kami dari pasien keracunan digoxin dimana 66 pasien membahayakan dirinya sendiri dengan sengaja menurut penelitian di Perancis, lebih dari 90% kondisi hatinya telah lebih dulu bermasalah. Persamaannya adalah mayoritas pasien yang mengalami overdosis secara tak sengaja menjalani prngobatan dengan macam-macam obat (penggunaan obat yang beraneka ragam): 58% pasien di salah satu penelitian, menggunakan 3/lebih obat (sebagai tambahan) pada saat sebelumnya sehat. Sebagai hasilnya, arimia jantung ditingkatkan oleh racun oleander menjadi tak seperti kondisi sebelumnya.
Kebanyakan gejala pasien memiliki efek penurunan sinus/AV node, dalam 30% dari kasus yang ada kedua node benar-benar mengalami efek signifikan (tabel 2). Karakteristik detak Mobitz tipe II gangguan AV, walaupun jarang dilaporkan pada keracunan digoxin, terjadi pada beberapa pasien yang keracunan oleander (gb. 3). Fibrilasi atrial dan ’flutter’ (menggelepar) tidak biasa terjadi pada pasien kami, hal ini mungkin karena kondisi jantungnya yang bagus sebelumnya. Empat pasien pada seri pasien dengan aritmia, semuanya menunjukkan adanya respon ventrikular yang lambat karena melemahnya kerja AV, hal ini juga yang terjadi pada keracunan digoxin. Pasien diobati dengan atidigozin Fab yang mengembalikan detak sinus kembali ke normal. Dugaannya adalah aritmia atrial ini tidak pernah terjadi sebelum keracunan. Detak ’centricular ectopic’ adalah hal yang tak biasa terjadi pada pasien oleander.
Hiperkalaemia exacerbates glikosida jantung meningkatkan aritmia jantung, dan ini kemudian digunakan sebagai marker dari sedikit keluarnya racun glikosida jantung. Meski pun semua gejala pasien adalah muntah, beberapa jenis yellow oleander menyebabkan kardiotoksisitas yang berhubungan dengan hiperkalamia. Tingkat hiperkalamia berhubungan dengan serum digoxin, berbanding terbalik dengan konsentrasi glikosi dajantung.
Di Perancis study tentang kasus bunuh diri dengan digoxin overdosis, juga menemukan adanya hubungan antara hiperkalaemia dan kardiotoksisitas: rata-rata (SD) masuknya konsentrasi serum potasium untuk pasien yang meninggal adalah 6,15 (0,74) mmol/l dibandingkan dengan 4,2 (0,52) untuk pasien yang tersembuhkan. Penulis menyarankan serum potasium akan menjadi marker cepat pada pasien dengan sedikit gejala.
Konsentrasi seum glikosida jantung dan potasium meningkat secara signifikan pada pasien yang dipindahkan ke Colombo untuk perawatan khusus daripada mereka yang rawat jalan dari Anuradhapura. Sayangnya kami tidak menemukan seum potasium untuk dijadikan marker spesifik awal dari pasien yang akan membutuhkan pemindahan. 10 dari 54 pasien yang ditangani gejalanya di Anuradhapura tanpa dipindah, memiliki harga serum potasium > 5,0 mmol/l didalam tubuhnya. Tingkat potasium dan glikosida jantung pasien yang di rekrut pada percobaan tidak lebih tinggi pada daripada mereka yang membutuhkan pemindahan dari Anuradhapura ke CCY. Ini mungkin karena pasien dengan tanda kenaikan potasium atau glikosida jantung meninggal terlebih dulu sebelum mencapai Colombo.
Kecelakaan racun digoxin pada pasien berusia lanjut yang sedang dalam terapi digoxin menjadi complicated oleh hipokalaemia owing to kombinasi dengan penyembuhan diuretik. Ini adalah masalah yang tidak biasa dalam kedua racun yellow oleander dan overdosis digoxin.
Meski demikian, 3 pasien yang dibawa ke Colombo dengan berbagai racun mendapat konsentrasi serum kurang dari 3,0 mmol/l; satu dari mereka meninggal (eddleston M, et al, unpublished data, 1999). Study lebih jauh dibutuhkan untuk melihat apakah pengujian potasium lebih awal dan koreksi untuk meningkatkan pengeluaran.
Kekurangan magnesium mudah terjangkit racun digoxin. Kami menemukan tidak ada hubungan antara serum magnesium dengan artimia maupun konsentrasi glikosida. Ini berarti konsentrasi serum magnesium tidak diubah oleh racun yellow oleander, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa ketidak normalan tinggi atau rendahnya tingkat magnesium sebelum keracunan mungkin dipengaruhi oleh pengeluaran. 2 dari 3 kefatalan dari mereka yang mampu mendapat sampel darah memiliki hipermagnesamia (1,08 dan 1,34 mmol/l). Satu pasien yang mana diobati di percobaan klinik tapi meninggal memiliki konsentrasi serum magnesium 0,46 mmol/l.
Kami tidak mampu untuk mengidentifikasi secara pasti hubungan antara aritmia pasien saat itu dan konsentrasi serum glikosida atau kerusakan elektrolit. Study dimasa mendatang sangat dibutuhkan untuk mengetahui relatif pentingnya tingkat glikosida jantung dan kerusakan elektrolit pada pasien yang mempunyai faktor kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo tulis komentar donk