Minggu, 22 Agustus 2010

Studi Efek Samping Jahe (Zingiberaceae Officinaleae Roscoe) pada dosis terapi

BAB I. PENDAHULUAN

Jahe (Zingiber officinale Roscoe, Zingiberaceae) adalah tumbuhan obat yang secara luas digunakan sebagai pengobatan herbal China, Ayurveda, Tibunnani, serta di seluruh dunia. Jahe telah luas digunakan di seluruh dunia sebagai makanan atau bumbu. Sejak jaman dahulu secara luas digunakan dalam pengaturan penyakit seperti arthriris, reumathsm, kesleo, sakit otot, sakit pinggang, sakit tenggorokan, kram, konstipasi, pencernaan, mual, hipertensi, dimensia, demam, infeksi, dan penyakit cacingan.
Akhir-akhir ini penelitian terhadap jahe telah berubah dan beberapa peneliti telah melakukan penelitian dengan tujuan mengisolsi dan mengidentifikasi senyawa aktif yang terdapat dalam jahe. Penelitian ini dimaksudkan untuk dilaukan pembuktian terhadap aksi farmakologi dan didasarkan kandungan aktifnya serta membuktikan dalam penyakit dan kondisi terentu.
Inti dari aksi farmakologi dari jahe dan hubungan dengan kandungan aktifnya adalah immonomoduator, aksi tumor, antinflamasi, antiapoposis, antihiperglikemi, antilipedemia, dan anti emetikum. Jahe adalah anti-oksidan kuat dapat mengurangi atau mencegah dari senyawa radikal bebas. Dengan pertimbangan sebagai obat herbal yang aman dengan sedikit atau efek samping yang tidak siqnifikan. Akan tetapi perlu kemudian kajian lebih lanjut serta penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pernyataan tersebut. dikatakan bahwa tidak ada satupun obat walaupun bahan alam yang aman dalam mengkonsumsinya karena jahe juga terdiri dari senyawa kimia yang memberikan efek positif atau efek yang tidak diinginkan dalam tubuh.
Untuk mempelajari jahe ini dilakukan pengujian terhadap hewan uji seta manusia dengan analiasis kinetika, dan efek dengan mengkonsumsi jahe dalam jangka waktu tertentu.













BAB II. KIMIAWI

Konstituen dari jahe ini sangat bergantung dari tempat tanam serta kondisi rizome dalam kondisi basah atau kering. Tidak semua kandungan kimia dilaparkan dalam review yang berjudul beberapa “Fitokimia, Farmakologi dan Toksikologi Dari Jahe (Zingiber officinale Roscoe) : Review dari Penelitian Akhir-Akhir Ini (Badreldin dkk, 2007), lebih diprioritaskan pada komponen mayor yang berperan dalam aksi farmakologi yang diperoleh dari ekstrak kasar.
Bau dari jahe ini bergantung dari kandungan minyak atsiri yang pada pemanenan biasanya berkisar antara 1% dan 3%. Lebih dari 50 komponen minyak atsiri yang memiliki karakter yang bervariasi dan biasanya adala monoterpenoids (β-phellandrene, (+)-champhene, sineol, geraniol, curcumin, sitral, terpineol, borneol) dan sesquiterpen (α- Zingiberance 30-70%, β-sesquiphellandrin 15-20%, β-bisabolene 10-15%, E-E-α-farnesene, ar-kurkumin, zingiberazol). Beberapa komponen minyak sedikait berbau ketika diambil dari jahe yang kering (Langner et al, 1998; Evans, 2002).
Ketajaman bau dari jahe ini dipengaruhi oleh gingerol yang merupakan homolog dari fenol. Kebanyakan yang melimpah adalah (6)gingerol walaupun didapatkan dalam kuantitas yang kecil dari gingerol yang lain dengan perbedaan pada panjang rantainya. Rasa pedas pada jahe dipengaruhi oleh keberadaan sogaol sebagai contoh (6) sogaol yang merupakan dehidrasi dari gingerol. Sogaol terbentuk dari perubahan bentuk sogaol slam proses pemanasan (Wohlmuth et al., 2005). Degradasi (6) gingerol menjadi (6) sogaol ditentukan oleh pH pada media dengan suhu 100 °C dan pH 1. Degradasi yang berulang dapat terjadi (Bhattarai et al., 2001) Degradaasi panas dari gingerol menjadi gingerone, shogaol, dan kandungan lain yang mirip dipublikasikan oleh Jolad et al (2004).
Jolad et al (2004) meneliti kandungan dari organ tumbuh (rizoma) dari jahe segar dan mengidentifikasi 63 komponen dengan 31 komponen telah dilaporkan sebagai konstituen dari jahe dan 20 komponen yang tersembunyi adalah komponen yang tidak diketahui. Komponen yang diidentifikasi adalah gingerol. Sogaol, 3-dehidrosogaol, paradols, dihidroparadols, asetil derivate dari gingerol, gigerdiol, mono- dan di- asetil derivate dari gingerdiol, 1-dehidrogigerdion, diarileptanoid, dan metil eter derivate dari beberapa komponenini. Denagn tambahan (6) gingerol, (4), (7), (8), dan (10)gingerol yang telah teridentifikasi, seperti juga metil (4) gingerol, metil (8) gingerol (4),(6), (8), (10) dan (12)- sogaol, metil (4)-., metil (6)- dan metal (8)- sogaol. Paradol dan 5-dioksigingerol. (6)- paradol, (6)-, (7)-, (8)-,(9)-,(10)-, (11)-, dan (13)- paradol telah dideteksi pada jahe segar.
Jolad et al (2004) juga juga menguji pada jahe kering menggunakan teknik yang sama pada studinya baru-baru ini (2004. Mereka mengidentifiakasi 115 komponen dengan 88 komponne yang telah dipublikasikan. 45 sari komponen itu sam seperti pada jahe segar, dan 31 lainnya merupakan kompnen yang baru, seperti metil (8)-paradol, metal (6)-isogingerol dan (6)-isosogaol. 12 yang lain diisolasi oleh orang yang berbeda. (6)-,(8)-,(10)-,dan (12)gingerdion telah dideteksi. Konsentrasi gingerol dalam jahe kering telah tereduksi disbanding dengan jahe segar, akan tetapi kandungan sogaolnya meningkat.
Diareleptanoids berada pada jahe kering ataupun basah. Ma et al (2004) melaporkan 7 Diareleptanoids yang sebelumnya tidak diketahui dari ekstrak etanol jahe China lebih dari 25 komponen telah diketahui, termasuk didalamnya Diareleptanoids. Sebaga contoh 1 yang telah dilaporkan adalah (3S, 5S)-3,5-diacetoksi-1,7-bis (4-hidroksi-3-metoksifenil)hepan. Wei et al (2005) melaporkan ativitas sitotoksik dan apoptosis yang signifiakan menyerang sel human promiyelocytic leukemia dari kandungan jahe, seperti Diareleptanoids dan komponen gingerol. Mereka menunjukkan struktur kimia signifiakan mempercepat aktifitas:
1. Kelompok asetosil pada posisi rantai 3 dan/atau 5
2. Pemanjangan rantai pada situs alkil
3. Gugus fungsi orto-diphenosil pada cincin aromatic.
4. α,β- unsaturasi moiety keton pada cincin
untuk analisis kandungan mayor jahe (6)-,(8)-, (10)-gingerol dan (6) sogaol pada produk suplemen, bumbu, teh, dan keuntangan lain dalam sediaan obat, pada HPLC telah dipublikasikan oleh Schwertner dan Rios.


















BAB III. FARMAKOKINETIK

Setelah bolus sudah masuk dalam intravena dengan dosis 3 mg/kg (6)-gingerol, kurva konsentrasi dalam plasma dibanding dengan waktu menunjukkan model dua kompartemen terbuka. (6)-gingerol dikeluakan dalam plasma dengan waktu paro 7.23 menit dan total Clearen dari tubuh adalah 16.8 ml/menit/kg. Protein serum berikatan (6)-gingerol dengan presentasi 92.4% (Ding et al, 1991). Pada kelompok studi yang sama pada kinetika tikus dengan percobaan hepatic akut atau gangguan ginjal (Naora et al, 1992) dan diidentfikasi tidak ada perbedaan yang siknifikan terlihat pada urva waktu-konsentrasi plasma atau parameter farmakoknetik lainnya dibandingkan dengan kontrol dan nephrektomize. Hal ini memberi pertanda oleh karena itu, ekskresi ginjal tidak memberikan kontribusi terhadap hilangnya (6)-gingerol dari plasma tikus. Ha ini berkebalikan dengan toksisitas hepar, mengakibatkan peningkatan kadar (6)-gingerol dalam plasma pada pase terminal. Waktu paro eliminasi meningkat signifikan dari 8.5 menjadi 11.0 menit., pada tikus dengan kerusakan hati. Semakin panjangnya waktu ikatan (6)-gingerol dengan protein seru lebih dari 90% dan efek menjadi kecil karena ketoksikannya. Aspek ini mengindikasikan bahwa (6)-gingerol bahwa liminasinya sebagian besar melewati hepar.
Penurunan metabolit dari S-(+)-(6)-gingerol, mayoritas dari pedasnya jahe, diidentifikasi secara in-vitro dengan induksi phenobarbabital pada hati tikus 10.000 gram dalam bentuk superntan yang mengandung NADPH-pembangkit sistem (Surh dan Lec, 1994). Penurunan diperlihatkan secara stereo-spesifik. Produk ekstrak etil asetat didisolasi dan dua metabolismenya diidentifikasi sebagai diasteromer dari (6)-gingerol oleh kromatografy gas/spektrometri massa. Penulis sebelumnya memperlihatkan (6)-gingerol sebagai zat pedas dari jahe yang direduksi pada hati tikus secar in-vitro. Metabolit ekstrak etil asetat yaitu sogaol telah diisolasi. Dibentuk dengan inkubasi pada alfanya, keton beta-saturasi dengan fraksi citosolic hati tikus yang telah dfortifikasi dengan NADPH- atau NADPH-pembangkit sistem: dua bagian besar metabolit yang teridentifikasi adalah 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-one(6- paradol))dan 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-ol (reduksi 6- paradol). 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-one (dehidoparardol), bukan merupakan analog zat padas sogaol, yang dibentuk dari metabolism yang sama , dari (6)-sogaol dibawah kondisi inkubasi yang sama. (6)-paradol muncul pada intermeidet reduksi metabolit alfa, beta-unsaturasi keton pada separuh sogaol yang disaturasi oleh alcohol (Surh dan Lec, 1994). Aktivitas farmakologi pada metabolite yang diisolasi tidak terkarakterisasi.
Akhir-akhir ini, dilaporkan bahwa (6)-gingerol ktika diinkubasi dengan NADPH-fertilified mikrosome hati tikus memberikan kenaikan metabolit menjadi delapan, hasil identifikasi dengan kromatografy gas –spektrometri massa (GC-MS) menganalisa dua produk hidroksilasi aromatic, serta diasteromer dua hidroksilasi alifatik produk diastereomer (6)-gingerdiol. Mikrosom hepar dari tikus dan manusia, dipertahankan dengan UDPGA, glusuronidasi (6)-gingerol yang didominasi oleh kelompok hidroksil fenolik, tapi jumlah yang kecil dari monoglukuronide kedua menyertai kelompok hidroksi alifatik juga diidentifikasi oleh analisis Kromatografi cair-spektrometri massa/spektrometri massa (LC-S/MS). Mikrosome pencernaan manusia dibentuk dari glusuronide fenolik supersoma yang terdiri dari UGTIAI manusia dan IA3 terpisah dari glukoronide fenolik, dengan aktifitas yang kecil, dimana UGTIA9 mengkatalis dengan spesifik formasi dari glukoronide alkoilik, dan UGT2B7 adalah predominan formasi dari gukorunide fenolik yang aktivitasnya tinggi. Studi ini menggambarkan kompleknya metabolism (6)-gingerol, yang direkam oleh penulis, yang seharusnya mempertibangkan aktivitas biologi yang multiple dari komponen ini (Pfeiffer et al 2006).
Metabolism lemak, dari (6)-gingerol telah diteliti pada tikus oleh Nakazawa dan Ohsawa (2002). Empedu tikus bahwa pada oral administrasi (6)-gingerol diperlihatkan dalam analisis HPLC yang mengandung metabolit mayor (S)-(6)-gingerol-4’-O-β-gluoronide. Walapun metabolit diperoleh dari (6)-gingerol tidak ditemukan dalam urin, ektrak etil asetat dari urin, setelah menglami hidrolisis enzimatik, menunjukkan enam metabolit minor (vanilic acid, asam ferulic, (S)-(+)-4-hidroksi-6-oxo-8-(4-hidroksi-3-metoksifenil) asam butanoic, 9-hidroksi (6)-gingerol dan (S)-(+)-(6)-gingerol totl ekskresi seluruh metabolit baik mayor dari empedu dan enam minor melalui urin selama 60 jam setelah adanya aministrasion oral dari (6)-gingerol kira-kira 48% dan 16% dari dosis, secara berturut-turut. Ekskresi dari enam meabolit minor di dalam urin menurun tajam setelah sterilisasi usus, mungkin karena keterlibatan flora normal di dalam metabolime. Di lain hal, inkubasi (6)-gingerol dengan hepar tikus menunjukkan adanya dari 9-hidroksi (6)-gingerol, gingerdiol, dan (S)- (6)-gingerol-4’-O-β-gluoronide. Hal ini mengindikasikan bahwa flora normal serta enzim dalam hati, meberikan pengaruh besar terhadap metabollime dari (6)-gingerol.







BAB IV. EFEK FARMAKOLOGI
1. Efek pada konsentrasi lipid serta Glukosa dalam darah
Dilaporkan bahwa pengobatan dari ekstrak metalonik dari jahe kering signfikan mereduksi induksi-fruktosa yang meninggikan kadar lipid, berat badan, hiperglikemia, dan hiperinsulinemia. Pengobatan dengan ekstrak etil asetat dari jahe tidak menujukkan perubahan signifikan reduksi tinggnya kadar lipid serta berat badan. Konsentrasi (6)-gingerol ditemukan tinggi pada methanol ekstrak yan memberukan effect lebih besar dibandingkan eti asetat ekstrak pada induksi-fruktosa hiperlidimia yang berasosiasi dengan insulin resisten. Perpanjangan aktivitas yang muncul erganntung konsentrasi dari (6)-gingerol di dalam estrak (Kadnur dan Goyal, 2005). Penulis yang sama ekstrak methanol dan atil aseta dari jahe yang diuji pada mencit selama delapan minggu, ditemukan adanya pegobatan pengurangan goldthioglukose yang menginduksi obesitas pada perlakuan mencit dan lebih lanjut direduksi dalam penurunan level glukosa dan insulin. Ini memberikan asumsi bahwa jahe meningkatkan sensitifitas insulin di dalam binatang. Akhir-akhir ini Al-Amin et al (2006) mempelajari potensi hipoglikemk dari jahe pada streptozotocid (STZ) yng menginduksi diabetes pada tikus yang memberikan hasil ekstrak air pada jahe (500mg/kg, intraperitonial) denagn periode 7 minggu. Serum darah dari binatang yang dipuasakan dianalisis gllukosa, kolesterol, dan triascygliserol. STZ disuntikkan pada tikus menunjukan hiperglikemianay bersamaan denagn berkurangnya berat badan. Pada dosisi 500mg/kg, jahe kasar signifikan dalam menurunkan glukosa serum,kolesterol, dan triascygliserol pada pengobatan diabetes tikus disbanding dengan kontrol tikus yang diabetes. Sebagai penambahan, pengobatan jahe pada tikus dengan diabetic ini menopang awal dari berat badan selama periode perlakuan. Selain itu, jahe juaga menurunkan penerimaan air serta pengeluaran urin pada STZ yang diinduksikan pada tikus ang diabetes. Hasil dari percobaan in member asusi bahwa jahe berpotensi dalam proses hipoglikemia, hipokolesterolemik, dan hipolipidemik. Sebagai tambahan jahe menunjukan efektif dalam membalikkan proteinuria diabetes dan hilangnya berat yang di temukan pada tikus yang diabetes. Dengan demikian, jahe mungkin dapat mengatur pada efek komplikasi diabetes pada subjek manusia.
2. Efek tekanan darah
Dilaporkan bahwa ekstrak kasar jahe mampu menurunkan tekanan darah pada tekanan darah arteri pada tikus yang dianastesi. Efeek yang nyata adalah menurunkan tekanan darah dengan memblok kanal kalsium dan menihibisi reseptor muscarinik. Hal ini juga bergantung kandungan aktifnya misal; resisten-atropin dan L-NAME-sensitif aktiif pada pembuluh darah ketika dalam jahe mengandung (6)-,(8)-,dan(10)-gingerol bersama (6)-sogaol menunjukkan efek ringan pada vasodilator.
3. Aktivitas Antiinflamasi dan Analgetik
Jahe mampu sebagai bahan anti-infalamasi dengan menghambat sintesisi prostlagandin (Kiruchi dkk, 1982). Dengan konstituen gingerdioan memberikan efek farmakologi mirip dengan obat NSAIDs pada tubuh yang telah diberi leukosit pada in-vitro(Flynn dkk, 1968). Gingerol sangatlah aktif dalam menghambat postlagandin dan leukotrien dalam sel RBL-1, gingerol dengan situs aktif alkil pada rantainya olebih efektif menghambat leukorien dari pada prostlagandin (Kiuchi dkk, 1992). Jahe dengan beberapa kandungunnya efektif menyerang sintesis sitokinin (protein yang dikeluarkan oleh sel makrofag, limfosit, dan firoblas saat terjadi proses inflamasi) dan sekresi senyawa inflamasi dan pengeluaran senyawa lainnya dalam proses inflamasi (Gzanna dkk, 2005). Jahe juga mampu mengatur jalannya biokmia yang mengktifkan inflamasi kronis (Gzanna dkk, 2005). Untuk mrlihat aktifitas jahe dalam memberi efek aktiitas sel monosit maka dilakuan kutur TPH-1 monosit dan menujukkan ekstrak ampu menghambat beta-amiloid peptic-induced sitokinin dan ekspresi semokin (Gzanna dkk, 2004). Pada studi in-vitr ekstrak jahe mampu menekan inflamasi seperi artritis dengan menekan pro-inflamasi sitokinin dan cemokin yang diproduksi oleh sinoviosit, condrosite, leukosit, jahe ditemukan secara efektif menghambat ekspresi seokin (Phan dk, 2005)
Aksi antiinflamasi, analgesik, dan antipirtik dari ekstrak etanolik jahe diujikan pada tikus. Ekstrak menurunkan atau mengurangi induksi karagenan pada pembengkakan kaki/tangan dan induksi demam, tetapi tidak efektif menekan rasa sakit dari induksi asam asetat secara intraperitoneal. Dosis tergantung inhibisi dari pelepasan prostaglandin juga dipelajari penggunaannya pada leukosit tikus secara peritoneal. Thompson et al. (2002) mengkonfirmasikan bahwa aksi penghambatan dari jahe pada prostaglandin yang diberikan secara oral atau intraperitoneal dari ekstrak aie jahe (500 mg/kg) yang diberikan kepada tikus setiap hari selama 4 minggu efektif secara signifikan menurunkan serum prostaglandin E2. Penelitian yang baru juga melaporkan aksi anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik ekstrak etanol jahe pada tijus dan mencit.
Mekanisme aksi dari jahe, komponen, dan derivatnya masih terus diteliti oleh beberapa peneliti. Gingerol dan derivatnya, khususnya (8)-paradol, telah dilaporkan lebih berpotensi sebagai antiplatelet dan penghambatan siklooksigenase (COX-1) dibandingkan aspirin, ketika diuji in vitro oleh Chrono Log dengan platelet darah agregometer. Peneliti ini menjelaskan gugus fungsi karbon pada C3 ditemukan pada paradol dan seri diarylhetanoid mungkin menyumbangkan potensinya sebagai antiplatelet dan menginhibisi COX-1. inhibisi dari asam arakhidonat (AA) jalur cascade melalui COX-1 sistem sintesis tromboksan dengan komponen fenolik mungkin memperjelas mekanime aksi dari jahe. Koo et al (2001) membandingkan kemampuan gingerol dan hubungan analognya juga dengan aspirin pada penghambatan AA menginduksi penurunan platelet manusia secara in vitro. Penggunaan pada rentang dosis yang sama juga menunjukkan bahwa gingerol dan analognya kira-kira dua sampai tiga kali lipat kurang berpotensi dibandingkan aspirin berlawnan dengan reaksi penurunan platelet yang diinisiasi oleh AA, dan dua sampai empat kali lipat kurang berpotensi dibandingkan aspirin pada penghambatan agregasi platelet yang diinduksi AA.
Trripathi et al. menguji hipotesis tentang ekstrak jahe yang diduga memilki efek penghambatan fungsi makrofag secara in vitro dan pada laporan ini juga dijelaskan tentang efek anti inflamasi secara in vivo. Dia juga memberikan hipotesis tentang konstituen aktif dari jahe yaitu (6)-gingerol yang efektif sebagai substansi anti inflamasi karena menghambat aktivasi makrofag, lebih spesifiknya pada penghambatan sitokinesis prto antiinflamasi dan presentasi antigen oleh oleh aktivasi makrofag lipopolisakarida. Hal ini dapat disimpulkan bahwa (6)-gingerol menghambat secara selektif produksi sitokinin pro antiinflamasi dari makrofag, tetapi tidak mempengaruhi fungsi sel yang mempresentasikan antigen atau Antigen Presenting Cell (APC). Oleh karena itu (6)-gingerol sebagai komponen antiinflamasi mungkin dapat digunakan untuk menyembuhkan inflamasi tanpa dicampuri dengan fungsi presentasi antigen dari makrofag.
Pada kenyataannya tidak ada konstituen jahe yang menyebabkan efek samping pada gastrointestinal seperti yang biasanya disebabkan oleh NSAID konvensional yang menyebabkan penghambatan prostaglandin. Jahe juga menyenbuhkan borok pada tikus.
4. Efek Jahe Pada Gastointestinal
Tepung rimpang jahe telah lama digunakan pada pengobatan tradisional untuk meringankan gejala penyakit pada gastrointestinal. Ekstrak aseton jahe dan konstituennya mampu meningkatkan pengosongan lambung dari makanan pada mencit. Efektivitas dari jahe pada emesis menjadi hiperemesis Gravidarum, motion sicknes, dan khemoterapi kanker juga pernah dilaporkan. Jahe digunkan pada pencegahan dan penyembuhan mual dan muntah pada manusia, tanpa efek yang signifikan pada pengosongan lambung. Peneliti menghilangkan efek anti kolinergik sentral dari jahe, hal ini tidak mengurangi respon nistagmus untuk vestibular dan stimulasi optokinetik. Pada tikus juga menunjukkan (6)-gingerol meningkatkan transit gastrointestinal makanan dan kekurangan aksi ini pada manusia menyebabkan perbedaan dosis yang digunakan. Baru-baru ini hal tersebut dijelaskan bahwa ekstrak jahe, memilki efek agonis kolinergik secara langsung pada reseptor M3 juga efek penghambatan pada pre sinapsis autoreseptor muskarinik, kesamaan untuk standar antagonis muskarinik.
Pada isolasi usus babi Guinea, beberapa komponen jahe (contohnya (6)-gingerol, (6)-shogaol, dan galanolakton) menunjukkan efek anti serotonin (5-hidroksitriptamin). Hal ini mungkin mempengaruhi aksi anti emetik beberapa jahe atau konstituennya mungkin menjadi media sentral melalui reseptor 5-HT3, seperti konstituen yang memilki bobot molkul kecil dan mudah melewati sawar darah otak. Pada Suncus murinus menunjukkan bahwa pemberian peroral (6)-gingerol mencegah muntah pada respon untuk siklofosfamid, barangkali melalui efek sentral.
Pemberian Cisplantin menyebabkan mual dan muntah pada manusia dan hewan. Ekstrak aseton dan etanol 50% jahe secara oral dosis 25, 50, 100, dan 200 mg/Kg menunjukkan perlindungan secara signifikan, sedangkan ekstrak air pada dosis yang sama tidak efektif mengatasi muntah karena Cisplantin pada anjing.
Mahady et al (2003) pertama kali membuktikan konstituen aktif dari jahe (gingerol) efektif secara in vitro melawan Heliobacter pylori, secara etiologi dihubungkan dengan dispepsia, tukak lambung, dan berkembang pada kanker lambung dan usus besar. Hal ini selanjutnya dibenarkan oleh Mahady et al (2005) dan Nastro et al (2006).
O”Mahony et al (2005) menguji aktivitas bakterisidal dan anti adhesiv komponen jahe dan beberapa tanaman obat dan bahan makanan yang dapat melawan H. pylori dan menemukan bahwa jahe paling efektif membunuh H. pylori, tetapi kemampuan menghambat adhesi pada bakteri ini untuk daerah perut lebih rendah. Baru-baru ini, Siddaraju dan Dharmesh (2007) melaporkan bahwa jahe yang bebas fenol dan fraksi fenolik yang telah dihidroolisis pada jahe keduanya berpotensi menghambat aktifitas proton kalium ATPase sel perut dan pertumbuhan H. pylori dan menjelaskan bahwa kedua fraksi dapat menyembuhkan tukak lambung dengan harga yang relatif murah.
5. Efek Perlindungan dari Radiasi dan Jaringan
Beberapa ekstrak dan fraksi dari Zingiber officinalle masih menunjukkan perlindungan terhadap induksi kimia pada kerusakan jaringan. Sebagai contoh fraksi Z. officinalle ditunjukkan oleh Yemitan dan Izegbu (2006) bahwa perlakuan sebelumnya pada tikus dengan ekstrak etanoldari rimpang jahe dan ektrak minyak dari tanaman efektif memperbaiki induksi akut hepatotoksik dari CCl4 dan asetaminofen (parasetamol).
Efek perlindungan dari ekstrak hidroalkohol dari rimpang jahe telah dipelajari pada mencit yang diberi ekstrak secara intraperitoneal dosis 10 mg/kg, sekali sehari selama 5 hari berturut-turut yang sebelumnya diberi 6-12 Gy radiasi gamma dan diamati setiap hari hingga 30 hari setelah diradiasi untuk mengamati tanda-tanda sakit karena radiasi atau bahkan kematian (Jagetioa et al., 2003). Perlindungan dari jahe mencegah kematian akibat radiasi dilaporkan juga oleh peneliti yang sama pada publikasi berikutnya (Jagetia et al., 2004). Praperlakuan pada mencit dengan ZOE mengurangi sakit karena radiasi dan kematian, serta melindungi mencit dari sindrom gastrointestinal, sebaik sindrom sumsum tulang belakang. Dosis yang mereduksi faktor dari ZOE telah ditemukan menjadi 1,15.dosis yang optimum melindungi yaitu 10 mg/kg ZOE 1/50 dari LD 59 (500 mg/kg).
Pemberian ekstrak 1 h sebelum 2-Gy iradiasi gamma efektif menghambat respon penghindaran sakarin setelah 5 hari perlakuan, keduanya tergantung dosis dan waktu, dengan 200 mg/kg b.w., i.p, menjadi dosis yang paling efektif. Baru-baru ini, pada kelompok yang sama diteliti peranan ekstrak hidroalkohol jahe pada tikus dan ditentukan bahwa ektrak berhasil melindungi tikus melawan CTA menjadi beberapa tingkatan perbandingan untuk membandingkan obat antiemetik ondasteron dan deksametason. Mekanisme perlindungan gastrointestinal dijelaskan dengan berbagai faktor termasuk antioksidan, mekanisme modulasi otot dan perlindungan terhadap radiasi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jahe mungkin memilki aktivitas farmakologi yang dapat melindungi dan efektif mengurangi kerusakan yang dihasilkan pada sel dan jaringan oleh radiasi ion (haksar et al., 2006)
6. Aksi Anti-oksidan Jahe
Beberapa penulis menunjukkan bahwa jahe dilengkapi dengan properti anti oksidan kuat secara in vitro dan in vivo. Aksi anti oksidan jahe telah diajukan sebagai salah satu dari mekanisme yang mungkin dari aksi protektif tanaman ini terhadap toksisitas dan lethalitas radiasi (contoh : Jagetia et al, 2003; Haksar et al., 2006) dan sejumlah agen toksik seperti karbon tetraklorida dan cisplastin (contoh : Amin dan Hamza, 2006; Yemitan dan Izegbu, 2006), dan sebagai obat anti ulkus (Siddaraju dan Dharmesh, 2007).
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa [6]-gingerol memiliki aksi anti oksidan kuat baik itu secara in vivo dan in vitro, sebagai tambahan terhadap aksi anti inflamasi dan anti apoptosis (Kim et al., 2007). Hal ini membuatnya menjadi agen yang sangat efektif untuk mencegah produksi species oksigen reaktif yang diinduksi oleh ultra violet B (UVB) dan ekspresi COX-2 dan agen terapuetik yang mungkin melawan gangguan kulit yang diinduksi oleh UVB.













BAB V. INTERAKSI OBAT – JAHE
Beberapa interaksi obat-jahe telah dilaporkan dalam literature. Jahe tidak berinteraksi dengan anti koagulan warfarin pada tikus atau manusia (Weidner dan Sigwart, 2000; Vaes dan Chyka, 2000). Baru-baru ini, hal ini telah dikonfirmasikan pada suatu studi yang dilakukan oleh Jiang et al. (2005) pada suatu penelitian teracak, tiga jalur silang (cross over), label terbuka pada 12 orang relawan sehat. Jahe diberikan per oral dengan dosis 400 mg (tiga kali sehari selama 1 minggu) sebelum warfarin dan dilanjutkan selama satu minggu setelahnya. Jahe dapat mengganggu efek bermakna baik itu pada status pembekuan maupun status kinetic dan dinamik dari warfarin.
Efek sinergetik jahe dan nifedipin sebagai anti agregasi trombosit pada relawan sehat dan pasien hipertensi telah dipelajari di Taiwan (Young et al., 2006). Ditemukan bahwa persentase agregasi trombosit yang diinduksi oleh kolagen, adenosine difosfat (ADP) dan epinefrin pada pasien hipertensi lebih besar daripada orang normal. Baik itu aspirin atau jahe dapat meningkatkan potensi efek anti agregasi trombosit dari nifedipin pada relawan normal dan pasien hipertensi. Hal ini menunjukkkan bahwa jahe dan nifedipin memiliki efek sinergetik sebagai anti agregasi trombosit. Telah direkomendasikan bahwa kombinasi 1g jahe dengan 10mg nifedipin dapat berguna dalam menghilangkan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskuler akibat agregasi platelet.



















BAB VI. AKSI ANTI-MIKROBA JAHE

Ekstrak jahe (10 mg/kg) intra peritoneal memiliki aktivitas anti-mikroba terkait dosis melawan Pseudomonas aeruginosa, Salmonela typhimurium, Escherichia coli dan Candida albicans (Jagetia et al., 2003). Yin dan Change (1998) menunjukkna bahwa jahe tidak memiliki aksi bermakna dalam melawan beberapa jamur (Aspergillus niger dan Aspergillus flavus) secara in vitro. Namun, Ficker et al. (2003b) menemukan bahwa dari 29 ekstrak tanaman, ekstrak jahe memiliki rentang aktivitas anti jamur paling besar yang diukur baik itu dengan penghambatan jamur atau diameter zona inhibisi. Ekstrak jahe merupakan satu-satunya yang aktif melawan Rhizopus sp., suatu organisme yang tidak dihambat oleh satupun dari ekstrak tanaman lain yang diujicobakan atau oleh agen anti jamur ketokonazol atau berberin. Dengan menggunakan isolasi yang dipandu dengan bio-assay dan identifikasi komponen anti-jamur pada jahe, penulis yang sama (Ficker et al,, 2003a) melaporkan bahwa [6], [8] dan [10]-ginerol dan [6]-gingerol merupakan prinsip utama anti-jamur. Komponen tersebut aktif melawan 13 human pathogen pada konsentrasi < 1mg/ml. Kandungan gingerol pada tanah ras Afrika paling tidak 3 kali lebih besar daripada tipe jahe komersial lainnya. Oleh karena itu, penulis ini menyarankan bahwa ekstrak jahe distandardisasi berdasar pada kandungan teridentifikasi yang dapat dianggap sebagai agen anti jamur untuk terapi praktis.
Iqbal et al. (2006) menyelidiki aktivitas anti-cacing pada bubuk mentah (CP) dan ekstrak cair mentah (crude aqueous extract/CAE) dari jahe kering (1-3g/kg) pada biri-biri yang secara alami terinfeksi dengan nematode gastrointestinal. Baik itu CP dan CAE menunjukkan efek anti-cacing terkait dosis dan waktu dengan reduksi maksimum berturut-turut 25,6% dan 66,6% dalam telur per gram (EPG) dari feses pada hari 10 terapi. Levamisole (7,5 mg/kg), agen anti-cacing standard pada studi ini menunjukkan reduksi EOG sebesar 99,2%. Meskipun penulis dalam studi ini menyimpulkan bahwa jahe memiliki aktivitas anti-cacing in vivo pada biri-biri, oleh karena itu (justifikasi penggunaan tradisional tanaman ini pada jaman dahulu untuk kecacingan), telah jelas bahwa reduksi EPG diinduksi oleh jahe sangat kecil dibandingkan dengan anti-cacing yang aman dan efektif yang telah tersedi








BAB VII. EFEK LAIN
Iwakasi et al. (2006) menyelidiki komponen jahe yang terlibat dalam peningkatan suhu tubuh. Semua gingerol dan shogaol meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler pada reseptor transient tikus potensial sel HEK293 yang mengekspresikan vailloid suptipe-1 (TRPV1) melalui TRPV1. Berkaitan dengan hal ini, shogaol lebih poten daripada gingerol. Efek samping diinduksi oleh [6]- dan [10]
Gingerol, dan [6]-shogaol (5 mmol/l) pada tikus ketika kandungan ini diberikan pada mata. Namun, tidak ada respon yang teramati dengan [10]-shogaol (5 dan 10 mmol/l). [10]-shogaol menginduksi reseptor nosiseptif via TRPV1 pada tikus mengikuti injeksi subkutan ke dalam cakar yang tersembunyi; kandungan pedas capsaisin (CAP) dan [6]-shogaol diamati memiliki efek yang sama. Lebih lanjut lagi, sekresi katekolamin adrenal, yang memiliki efek serupa pada konsumsi energi, ditunjukkan pada tikus terhadap [6]- dan [10]-gingerol; dan [6] dan [10]- shogaol 91,6 μmol/kg, i.v.). Sekresi adrenal yand diinduksi oleh [10]-Shogaol dihambat oleh pemberian capsazepin, antagonis TRPV1. Telah disimpulkan bahwa aktivitas gingerol dan shogaol yang diaktifkan dengan TRPV1 dan peningkatan sekresi adrenalin. Secara menarik, [10]-shogaol merupakan kandungan tidak pedas diantara gingerol dan shogaol, menunjukkan manfaatnya sebagai kandungan fungsional pada makanan.
Paraben merupakan kelompok bahan kimia yang digunakan secara luas sebagai bahan pengawet pada kosmetik dan industri farmasi. Kandungan tersebut, dan bentuk garamnya, secara primer digunakan oleh karena properti anti bakteriosidal dan fungisidalnya. Mereka dapat ditemukan pada shampo, pelembab komersial, gel untuk bercukur, gel pembersih, lubrikan, obat topikal/parenteral, dan pasta gigi. Mereka juga digunakan sebagai pengawet makanan. Asnani dan Verma (2006) melaporkan bahwa ekstrak jahe yang memadai memiliki efek amelioratif sitotoksisitas yang diinduksi oleh paraben (p-hydroxyebzoic azid) pada eritrosit sehat manusia secara in vitro. Paraben terhadap suspensi RBC menyebabkan peningkatan bermakna pada kecepatan hemolisis. Namun, tambahan konkuren paraben (150 μg/ml) dan ekstrak jahe menyebabkan retardasi terkait konsentrasi pada hemolisis yang diinduksi oleh paraben. Yang lebih terbaru, Verma dan Asnani (2007) mengevaluasi efek paraben (p-hydroxyebzoic azid) pada kandungan protein asam, basa dan netral, seperti halnya karbohidrat dan kolesterol pada hati dan ginjal tikus. Mereka telah menemukan bahwa pemberian ekstrak Z.officinale cair per oral (3mg/hewan/hari) bersama dengan paraben selama 30 hari menyebabkan ameliorasi bermakna pada semua tipe protein, karbohidrat dan kolesterol pada hati dan ginjal.
Pada paper terbaru, Tripathi et al (in press) menuliskan hasil yang belum terpublikasi yang menunjukkan bahwa jahe memperpanjang survival alograft jantung tikus secara in vivo dna menghambat beberapa fungsi makrofag in vitro.
Alkanon fenolik 6-gingerol dan kandungan 6-shogaol mereduksi sel kanker gaster melalui mekanisme berbeda (Ishiguro et al., in press). Yang dulunya mempengaruhi viabilitas sel kanker secara ringan, sedangkan kemudian memiliki efek inhibisi bermakna dengan merusak mikrotubulus dan menginduksi mitotic arrest.

BAB VIII. EFEK SAMPING YANG TIDAK DIKEHENDAKI DARI JAHE
1. Efek pada Pembekuan darah
Pada ekstrak platelet memberikan efek platelet pad Trmboksin-2 (TBX-2) dan prostladandin-E2 (PGE2), dengan pemberian setiap hari pada tikus selama 4 minggu abik secara oral ataupun i.p. dosis 50 mg/kg pada ip tidak memberikan pengurangan yang siknifikan terhadap TBX-2, akan tetapi secara signifikan mengubah PGE2 pada dosis yang sama. Pada dosis yang tinggi 500 mmg/kg efektif mengurangi kadar PGE2 dalam serum baik secara oral atau ip. Untuk TBX-2 hanya menurun ketika dberikan secara oral saja.
Dalam review yang lain dengan judul ” Manfaat, Efek Samping Dan Interaksi Obat pada Terapi Herbal Dengan Efek Kardivaskuler” oleh Geogianne dkk New York, 2002 menyebutkan jahe mmberikan efek samping berupa gangguan fungsi platelet dan menyebabkan hipertensi. Bubuk jahe kering sejumlah 500-1000 mg, atau jahe segar. 2-4 gram biasanya digunakan untuk anti mual. Jahe yang dikatakan mampu memberikan efek vitalitas jantung dan darah ini mampu mengurangi agregasi platelet dan menghambat sintesis tromoksin pada penelitian secara in-vitro. in-vitro aktivitas antiplatelet berbeda berdasarkan bentuknya ( kering, menta, sudah dimasak atau ekstrak). Studi klinik, menggunaan materi mentah,sudah dimasak, ataupun jahe kering tidak menunjukkan pengeluaran darah agregasi platelet atau produksi trombosit. Jadi jahe ini mampu menghambat penjendalan darah sehingga penggunaannya haruslah hati-hati.
2. Efek Hipertensi
Kandungan yang diisolasi sperti gingerol dan sogaol positif memberikan efek inotropik dan tekanan. Dari sinilah efek saping hipertensi tersebut muncul.
3. Hipotesis keamanan pada wanita hamil
Untuk wanita hamil menjadi sengat berhati-hati apalagi pada masa kehamilan awal karena jahe mampu menghambat ikatan testosteron dengan janin (hipotesis). Beberapa efek samping dari jahe telah dilaporkan pada tikus yang hamil (Wilkinson, 2000). Teh jahe (15g/l, 20g/l atau 50 g/l) telah diberikan pada botol minuman tikus Sprague-Dawley yang hamil pada umur kehamilan 6 hari berturut-turut sampai hari ke-15 dan mereka dibunuh pada hari ke-20. Tidak ada toksisitas maternal yang teramati, namun kematian embrionik pada kelompok terapi berlipat ganda daripada kontrol. Tidak ada malformasi morfologi besar yang teramati pada fetus yang diterapi. Fetus diekspos dengan teh jahe secara bermakna lebih berat daripada kontrol, sebuah efek yang lebih besar pada fetus betina dan tidak berkaitan dengan peningkatan ukuran plasenta. Fetus yang diterapi juga memiliki perkembangan skeletal seperti yang ditentukan denan pengukuran pusat penulangan sternum dan metakarpal. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa paparan in utero terhadap teh jahe memberikan hasil peningkatan matinya embrio dini dengan peningkatan pertumbuhan dalam harapan hidup fetus (Wilkinson, 2000). Meskipun teh juga diajukan sebagai obat alternatif yang aman dan efektif terhadap anti-emetik konvensional (Boone dan Shields, 2005), hal ini mungkin secara nyata digunakan untuk mencegah pemberian jahe atau komponen yang diekstrak darinya selama kehamilan (Marcus dan Snodgrass, 2005).
4. Efek minor lainnya
Beberapa efek samping minor dapat berkaitan dengan penggunaan jahe untuk manusia. Pada satu percobaan klinik yang melibatkan 12 orang relawan sehat yang menerima jahe per oral pada dosis 400 mg jahe (3 kali sehari selama 2 minggu), satu subjek pada studi ini dilaporkan mengalami diare ringan selama dua hari pertama pemberian jahe pra-terapi. Jahe mungkin menyebabkan heartburn, dan pada dosis yang lebih tinggi dari 6 g dapat beraksi sebagai iritan lambung. Inhalasi dari debu jahe mungkin dapat memproduksi alergi yang dimediasi oleh IgE (Chrubasik et al., 2005)


IX. TOKSIKOLOGI JAHE
Jahe secara umum dianggap sebagai obat herbal yang aman (Weidner dan Sigwart, 2000). Ekstrak jahe yang paten EV.EXT 33 diberikan per oral gavage pada konsentrasi 100, 333 dan 1.000 mg/kg, ke dalam tiga grup dari 22 tikus betina yang hamil dari hari ke-6 hingga ke-15 gestasi. Sebagai perbandingan, kelompok keempat menerima kendaraan, minyak sesame. Berat badan dan intake makanan dan cairan dicatat selama periode terapi. Tikus dibunuh pada hari ke-21 kehamilan dan diperiksa dengan parameter standard reproduksi. Fetus diperiksa untuk melihat tanda efek teratogenik dan toksik. Preparasi jahe ditoleransi secara baik. Tidak ada kematian atau efek samping terkait terapi yang teramati. Peningkatan berat badan dan konsumsi makanan semua kelompok hampir sama selama masa kehamilan. Penampilan reproduksi tidak dipengaruhi oleh terapi jahe. Pemeriksaan fetus untuk perubahan eksternal, visceral dan skeletal tidak menunjukkan adanya efek embriotoksik atau teratogenik dari preparasi jahe. Berdasarkan hasil ini, disimpulkan bahwa preparasi jahe EV.EXT 33 ketika diberikan pada tikus hamil selama periode organogenesis, menyebabkan baik itu toksisitas maternal atau perkembangan pada dosis harian hingga 1.000 mg/kg BB (Weidner dan Sigwart, 2001).


X. KESIMPULAN
Review terbaru berusaha untuk mendokumentasikan dan memberikan komentar terhadap publikasi yang menunjukkan jahe dan konstituen jahe selama 10 tahun terakhir atau sebelumnya. Paper yang direview ini menyediakan contoh lain bagaimana hal ini mungkin dapat menjelaskan aksi obat jaman dahulu dalam hal biokimia dan farmasi konvensional. Jahe dan konstituen kimianya memiliki aksi anti-oksidan kuat. Karena beberapa penyakit metabolik dan gangguan degeneratif terkait usia berkaitan erat dengan proses oksidatif pada tubuh, penggunaan jahe atau satu konstituennya atau lebih sebagai sumber anti oksidan untuk menghancurkan oksidasi menjadi perhatian lebih lanjut. Jahe dan banyak dari konstituen kimianya telah ditunjukkan pada sejumlah studi klinik, bermanfaat dalam menghilangkan muntah paska operasi dan muntah pada kehamilan. Hal ini mungkin berguna dalam investigasi efek jahe untuk muntah selama kemoterapi kanker, sebagai obat mentah dan konstituennya telah menunjukkan anti kanker. Beberapa studi juga diperlukan pada kinetuk jahe dan konstituennya dan efek pada konsumsi berlebihan pada periode lama. Jahe dianggap sebagai obat herbal yang aman dengan efek samping sedikit saja dan tidak bermakna.
Percobaan lebih lanjut pada manusia diperlukan untuk menentukan efikasi jahe (atau satu atau lebih dari konstituennya) dan untuk menegakkan sesuatu, jika ada, efek samping yang teramati. Namun, percobaan klinis double-blind sulit untuk dilakkan karena rasa dan bau jahe sangat menyengat.
Dari hasil pengamatan keamanan dari jahe sendiri tidak begitu signifikan. Adapun efek samping yang mungkin timbul adalah gangguan pembekuan darah, hipertensi, gangguan saat kehamilan awal, dan bebapa efek minor lainnya seperti diare ringan,heartburn, iritan lambung serta inhalasi dari debu jahe mungkin dapat memproduksi alergi yang dimediasi oleh IgE.

Referensi
H. Ali Badreldin, Blunden, Tanira M, Nemmer, 2007, Some Phytochemical, Pharmacological, and Toxikological Properties of Ginger (Zingiberaceae Officinaleae Roscoe): A Review Of Rcent Research. Sience direct, elsevier
Valli G, V Grace-Elsa, Giardina, 2002, Benefit, Adverse Effect And Drugs Interactions of Herbal Therapies with Cardivarcular Effect. New-York

1 komentar:

  1. halo salam kenal saya ratna.saya amazed liat blog anda yg super teliti.anda peneliti ya?saya ingin tahu kenapa aada tulisan aksi tumor di awal bolg ini.apa artinya?terima kasih

    BalasHapus

ayo tulis komentar donk