A. PENDAHULUAN
1. Limbah dan Industri Tekstil
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestic (rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Di Indonesia, suatu pabrik tekstil dapat merupakan suatu pabrik yang hanya melakukan proses pemintalan, proses pertenunan/perajutan, proses penyempurnaan atau proses pembuatan pakaian jadi (garmen) saja. Banyak pabrik yang hanya melakukan beberapa proses tersebut, tetapi ada pula yang merupakan suatu pabrik yang terintegrasi dimulai dari pembuatan benang hingga proses penyempurnaan Industri tekstil termasuk industri utama penghasil limbah cair karena dari proses penyempurnaan tekstil selalu menggunakan air sebagai bahan pembantu utama dalam setiap tahapan prosesnya. Pencemaran air dari industri tekstil dapat berasal dari buangan air proses produksi, buangan sisa-sisa pelumas dan minyak, buangan bahan-bahan kimia sisa proses produksi, sampah potongan kain, dan lainnya.
Adanya penggunaan zat kimia seperti alkali, asam, kanji, oksidator, reduktor elektrolit, surfaktan, zt warna, polimer sintetik dan panas dapat menyebbkan air buangan industri bersifat asam/basa, COD dan BOD tinggi, berwarna, berbusa, bau dan panas. Air buangan yang bersifat asam atau basa dapat menurunkan daya pembersih alam yang dimiliki air penampungnya. Air buangan yang mengandung bahan kimia dan sisa-sisa pelumas bahkan dapat mengakibatkan matinya makhluk-makhluk air yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia.
Pada beberapa negara maju, termasuk di Indonesia telah ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang baku mutu bahan buangan yang diizinkan untuk dibuang langsung ke dalam lingkungan. Dengan adanya peraturan tersebut, maka industri tekstil boleh membuang limbah cairnya langsung ke lingkungan dengan ketentuan bahwa kandungan bahan kimia atau bahan lainnya dalam air buangannya tidak melebihi konsentrasi yang telah ditetapkan atau dengan kata lain memenuhi persyaratan.
2. Parameter Air Buangan Industri Kain
Potensi pencemaran air buangan industri kain sasirangan sangat bervariasi tergantung dari macam proses yang dilakukan, kapasitas produks, jenis bahan baku, bahan pewarna dan bahan penolong yang digunakanserta kondisi lingkungan tempat pembuangannya.
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan karakter air buangan industri kain sasirangan dapat disamakan dengan karakter air buangan industri tekstil yang meliputi parameter fisika seperti zat padat, suhu, warna dan bau; parameter kimia seperti lemak, minyak pelemas zat aktif permukaan, zat warna, fenol, sulfur, pH, krom, tembaga, senyawa racun, dan sebagainya.
2.1. Parameter Fisika
• Padatan Total
Adalah jumlah zat padat yang tertinggal, apabila air buangan dipanaskan atau diuapkan pada suhu 103° C s/d 105° C. Padatan ini terdiri dari padatan tersuspensi, padatan koloidal, dan padatan terlarut.
Padatan Tersuspensi, merupakan padatan dengan ukuran lebih besar dari 1 mikron, dapat mengendap sendiri tanpa bantuan zat tambahan (koagulan), meskipun dalam waktu agak lama.
Padatan Koloidal, merupakan padatan dengan ukuran antara 1 milimikron sampai 1 mikron, tidak dapat mengendap tanpa bantuan koagulan. Kekeruhan air buangan antara lain disebabkan adanya partikel-partikel koloidal.
Padatan Terlarut, merupakan padatan dengan ukuran lebih kecil dari 1 milimikron, terjadi dari senyawa organik atau anorganik yang dalam larutan berupa ion-ion.
• Warna
Ditimbulkan dari sisa-sisa zat warna yang tidak terpakai dan kotoran-kotoran yang berasal dari sutera alam. Disamping dapat mengganggu keindahan, mungkin juga dapat bersifat racun, serta biasanya sukar dihancurkan. Genangan air yang berwarna, banyak menyerap oksigen dalam air, sehingga dalam waktu lama akan membuat air berwarna hitam dan berbau.
• Bau
Bau dari air buangan menandakan adanya pelepasan gas yang berbau seperti hidrogen sulfida. Gas ini timbul dari hasil penguraian zat organik yang mengandung belerang atau senyawa sulfat dalam kondisi kekurangan oksigen.
• Suhu
Suhu air buangan biasanya lebih tinggi dari suhu air tempat pembuangannya. Pada suhu yang lebih tinggi kandungan oksigen dalam air berkurang sehingga memungkinkan tumbuhnya tanaman-tanaman air yang tidak diinginkan.
2.2. Parameter Kimia
Parameter kimia yang digunakan untuk mengukur derajat pencemaran air buangan antara lain adalah : BOD, COD, pH, senyawa anorganik, senyawa organik, karbohidrat, protein, lemak dan minyak.
• Biologycal Oxygen Demand (BOD)
Adalah jumlah oksigen terlarut dalam air buangan yang dapat dipakai untuk menguraikan sejumlah senyawa organik dengan bantuan mikro organisme pada waktu dan kondisi tertentu. BOD yang rendah menunjukkan sedikit pencemaran, kira-kira 5 mg/l uji BOD mengukur tendensi elemen yang menggunakan oksigen. BOD mengukur kandungan oksigen total dan kemampuan sistem untuk menurunkan oksigen. Besaran BOD biasanya dinyatakan dalam satuan ppm, artinya kebutuhan oksigen dalam miligram yang dipergunakan untuk menguraikan zat pencemar yang terdapat dalam satu liter air buangan.
• Chemical Oxygen Demand (COD)
Beberapa jenis zat organik dalam air buangan sukar diuraikan secara oksidasi menggunakan bantuan mikro organisme, tetapi dapat diuraikan menggunakan pereaksi oksidator yang kuat dalam suasana asam, misalnya menggunakan kalium bikromat atau kalium permanganat. Besaran COD dinyatakan dalam satuan ppm.
• pH
Merupakan parameter penting untuk kehidupan manusia, makhluk air, tanaman, kesehatan dan industri. Air buangan dikatakan bersifat asam apabila pH 1 s/d 7, dikatakan alkalis apabila pH 7 s/d 14, dan dikatakan netral apabila pH sekitar 7. Biasanya air buangan industri sasirangan bersifat alkalis karena dalam pengolahannya banyak menggunakan senyawa alkali seperti dalam pemasakan, pencelupan, dan pengelentangan.
• Senyawa Anorganik
Sangat beragam, pada umumnya berupa alkali, asam dan garam-garam. Zat-zat tersebut dapat menyebabkan kondisi air buangan bersifat alkalis, asam atau netral dengan kadar elektrolit tinggi.
• Senyawa Organik
Pada umumnya merupakan gabungan unsur, karbon, hidrogen, oksigen dan juga mungkin unsur nitrogen dan belerang
3. Baku Mutu Air Limbah Industri
Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal menentukan apakah telah terjadi pecemaran dari kegiatan industri atau pabrik dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan yaitu :
a. Effluent Standard merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan.
b. Stream standard merupakan batas kadar limbah untuk sumberdaya tertentu, seperti sungai, waduk, dan danau. Kadar yang ditetapkan ini didasarkan pada kemampuan sumberdaya beserta sifat peruntukannya (Darsono, 1995).
Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air, sehingga tidak menyebabkan dilampauinya baku mutu air (Darsono, 1995).
Baku mutu air limbah (effluent standard) dipergunakan untuk perencanaan, perizinan, dan pengawasan mutu air limbah dari perbagai sektor. Untuk melindungi sumber air sesuai dengan peruntukannya maka perlu ditetapkan baku mutu limbah cair dengan berpedoman kepada alternatif mutu limbah cair yang telah ditetapkan dalam keputusan Menteri Negara Kependudukan dan lingkungan Hidup No. KEP - 51/ MENLH/ 10/ 1995.
Baku mutu limbah yang telah ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi peruntukan air di daerahnya, dengan demikian dalam setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair dan yang membuang limbah cair tersebut ke dalam air pada sumber air limbah cair harus memenuhi persyaratan
1. Mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan, dan
2. Tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima limbah (Darsono, 1995).
Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam air pada sumber air, mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah (Darsono, 1995).
B. INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KAIN
Pengolahan limbah cair dilakukan untuk mengurangi zat pencemar, seperti zat organik, senyawa yang mengandung nitrogen, padatan tersuspensi/terendapkan, senyawa garam dan lain-lain. Kebanyakan zat pencemar tersebut merupakan zat organik, zat penyerap oksigen sehingga mengurangi kadar oksigen terlarut dan mengganggu biota air. Disamping itu zat pencemar limbah cair sering keluar dalam keadaan panas sehingga perlu didinginkan sebelum diolah. Pengolahan limbah cair sendiri dapat dilakukan secara fisika, kimia, biologi dan lain-lain.
Berdasarkan karakteristik limbah, proses pengolahan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu proses fisik, kimia, dan biologi. Proses ini tidak dapat berjalan secara sendiri-sendiri, tetapi kadang-kadang harus dilaksanakan secara kombinatif. Pemisahan proses menurut karakteristik limbah sebenarnya untuk memudahkan pengidentifikasian peralatan.
a. Proses Fisik
Perlakuan terhadap air limbah dengan cara fisika, yaitu proses pengolahan secara mekanis dengan atau tanpa penambahan bahan kimia. Proses-proses tersebut di antaranya adalah : penyaringan, penghancuran, perataan air, penggumpalan, sedimentasi, pengapungan, Filtrasi,
b. Proses Kimia
Proses secara kimia menggunakan bahan kimia untuk mengurangi konsentrasi zat pencemar di dalam limbah. Kegiatan yang termasuk dalam proses kimia di antaranya adalah pengendapan, klorinasi, oksidasi dan reduksi, netralisasi, ion exchanger dan desinfektansia. Secara kimia biasanya dilakukan dengan koagulasi dan flokulasi yang membutuhkan banyak koagulan untuk menurunkan BOD, contohnya dilakukan pada limbah zat warna yang tidak dapat dihilangkan dengan proses biologi sehngga dengan cara koagulasi kimia atau absorbsi karbon aktif.
c. Proses Biologi
Proses pengolahan limbah secara biologi adalah memanfaatkan mikroorganisme (ganggang, bakteri, protozoa) untuk mengurangi senyawa organik dalam air limbah menjadi senyawa yang sederhana dan dengan demikian mudah mengambilnya. Contoh secara biologi diterapkan pada penyempurnaan kapas,perlu dilakukan pengkondisian untuk pembiakan mikroorganisme seperti suhu, Ph, dan penambahan nutrisi sesuai jenis mikroorganismenya secara anaerob, aerob, nitrifikasi, atau denitrifikasi (Kristanto, 2002)
Pemilihan cara pengolahan limbah mempertimbangkan kandungan kimia dalam limbah seperti garam-garam krom, tembaga, logam berat (B3), detergen, zat pembasah, serat limbah dan lain-lain.
Limbah pada industri kain umumnya berbentuk cair dan diolah secara kimia sehingga pada kesempatan ini kami akan memfokuskan pada pengolahan secara kimia. Prinsip yang digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah menambahkan bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar yang dikandung air limbah, kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan).
Kekeruhan dalam air limbah dapat dihilangkan melalui penambahan/pembubuhan sejenis bahan kimia yang disebut flokulan. Pada umumnya bahan seperti aluminium sulfat (tawas), fero sulfat, poli amonium khlorida atau poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai flokulan.
Untuk menentukan dosis yang optimal, flokulan yang sesuai dan pH yang akan digunakan dalam proses pengolahan air limbah, secara sederhana dapat dilakukan dalam laboratorium dengan menggunakan test yang merupakan model sederhana dari proses koagulasi.
Dalam pengolahan limbah cara ini, hal yang penting harus diketahui adalah jenis dan jumlah polutan yang dihasilkan dari proses produksi. Umumnya zat pencemar industri kain sasirangan terdiri dari tiga jenis yaitu padatan terlarut, padatan koloidal, dan padatan tersuspensi.
Terdapat 3 (tiga) tahapan penting yang diperlukan dalam proses koagulasi yaitu : tahap pembentukan inti endapan, tahap flokulasi, dan tahap pemisahan flok dengan cairan.
Gambar 1. Diagram alir proses koagulasi dengan pengendapan
1. Tahap Pembentukan Inti endapan
Pada tahap ini diperlukan zat koagulan yang berfungsi untuk penggabungan antara koagulan dengan polutan yang ada dalam air limbah. Koagulasi terjadi setelah penambahan garam dari besi atau aluminium ke air dan merupakan reaksi antara koagulan, garam dan air:
Agar penggabungan dapat berlangsung diperlukan pengadukan dan pengaturan pH limbah. Pengadukan dilakukan pada kecepatan 60 s/d 100 rpm selama 1 s/d 3 menit; pengaturan pH tergantung dari jenis koagulan yang digunakan, misalnya untuk :
Alum pH 6 s/d 8
Fero Sulfat pH 8 s/d 11
Feri Sulfat pH 5 s/d 9
PAC pH 6 s/d 9
2. Tahap Flokulasi
Flokulasi adalah proses fisik perlahan untuk meningkatkan probabilitas tumbukan partikel. Melalui pengalaman, kita melihat bahwa pencampuran yang efektif mengurangi jumlah bahan kimia yang diperlukan dan sangat meningkatkan proses sedimentasi, yang berakibat pada proses filter. Tujuan dari flokulasi adalah untuk membentuk flok dan partikel-partikel koloid dan membawa mereka turun dengan cepat ke tempat penampungan.
Pada tahap ini terjadi penggabungan inti inti endapan sehingga menjadi molekul yang lebih besar, pada tahap ini dilakukan pengadukan lambat dengan kecepatan 40 s/d 50 rpm selama 15 s/d 30 menit. Untuk mempercepat terbentuknya flok dapat ditambahkan flokulan misalnya polimer, polielektrolit.
Polielektrolit digunakan secara luas, baik untuk pengolahan air proses maupun untuk pengolahan air limbah industri. Polielektrolit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu non ionik, kationik dan anionik; biasanya bersifat larut air. Sifat yang menguntungkan dari penggunaan polielektrolit adalah : volume lumpur yang terbentuk relatif lebih kecil, mempunyai kemampuan untuk menghilangkan warna, dan efisien untuk proses pemisahan air dari lumpur (dewatering).
3. Tahap Pemisahan Flok dengan Cairan
Flok yang terbentuk selanjutnya harus dipisahkan dengan cairannya, yaitu dengan cara pengendapan atau pengapungan. Bila flok yang terbentuk dipisahkan dengan cara pengendapan, maka dapat digunakan alat klarifier, sedangkan bila flok yang terjadi diapungkan dengan menggunakan gelembung udara, maka flok dapat diambil dengan menggunakan skimmer.
Klarifier berfungsi sebagai tempat pemisahan flok dari cairannya. Dalam klarifier diharapkan lumpur benar-benar dapat diendapkan sehingga tidak terbawa oleh aliran air limbah yang keluar dari klarifier, untuk itu diperlukan perencanaan pembuatan klarifier yang akurat.
Kedalaman klarifier dipengaruhi oleh diameter klarifier yang bersangkutan. Misalkan dibuat klarifier dengan diameter lebih kecil dari 12m, diperlukan kedalaman air dalam klarifirer minimal sebesar 3,0 m.
Referensi
Budiman, A. 2001, Penghematan limbah energi-kimia secara efisien, jurnal PSE-UGM, Yogyakarta
Darsono Velentinus. 1995. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbit Universitas Atma Jaya. Yogyakarta
Kristanto Philip. 2002. Ekologi Industri. LPPM. Penerbit ANDI Yogyakarta
Selasa, 12 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ijin copas mba, salam kenal ..
BalasHapusartikel nya sangat membantu, kebutulan kami juga membahas mengenai pengolahan air limbah atau Ipal Rumah Sakit, dan kami merupakan perusahaan yang bergerak di bidang konsultan ipal, hubungi kami disini
BalasHapusMenjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment harga nego untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com
BalasHapusWA 081310849918
Terima kasih