Kamis, 14 Januari 2010

Kultur Akar Berambut 2

DEFINISI
Kultur akar merupakan kultur jaringan akar yang hidup dan berdiferensiasi secara terorganisir membentuk biomasa akar tanpa kehadiran tipe organ lain dari tanaman seperti batang, tunas atau daun secara in vitro (Payne et al. 1992).
Akar rambut adalah akar kecil berbentuk seperti rambut halus. Kultur akar rambut adalah suatu metode budidaya akar rambut secara in vitro dengan kondisi yang terkendali dan aseptis.
Akar yang dikulturkan dapat berupa akar normal atau akar transgenik hasil transformasi genetik.
1. Kultur akar normal diperoleh dengan menanam ujung akar tanaman atau kecambah secara in vitro dalam media yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT).
2. Kultur akar transgenik diperoleh dengan menanam akar rambut (hairy root) yang dihasilkan dari transformasi genetik dengan bantuan bakteri tanah Agrobacterium rhizogenes. Transformasi genetik dengan Agrobacterium rhizogenes diketahui dapat menginduksi pembentukan akar rambut akibat proses transfer T-DNA dari Ri- (root inducing) plasmid ke genom tanaman (dalam sel) (Payne et al. 1992; Nillsson & Olson 1997 sit Sukma Dewi,2004) melalui pelukaan. T- DNA akan mengekspresikan gen-gen untuk mensintesis senyawa opin dan mengandung onkogen yang berperan untuk menyandi hormon pertumbuhan auksin dan sitokinin.

KEGUNAAN
Kultur akar berambut digunakan untuk mengantisipasi ketidakmampuan kultur sel menghasilkan metabolit sekunder karena sel belum berdiferensiasi. Teknik merupakan metode yang ideal untuk mempelajari kandungan senyawa aktif yang diproduksi tanaman karena akar rambut dapat melakukan sintesis senyawa aktif yang diinginkan dan dapat tumbuh stabil dalam media in vitro (Savary & Flores 1994; Toppi et al. 1996). Kultur akar rambut tersebut telah digunakan untuk mempelajari keberadaan senyawa bioaktif seperti ribosome inactivating protein (RIP) atau senyawa bioaktif lainnya (alkaloida, flavonoida, poliaetilena dan fitoaleksin) (Toppi et al. 1996; Savary & Flores 1994).

KAITAN KULTUR AKAR BERAMBUT DENGAN METABOLIT SEKUNDER
Kultur akar berambut merupakan perkembangan dari kultur akar yang menjanjikan. Hal ini disebabkan kultur akar berambut dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder menggunakan elisitasi.



METODE PELAKSANAAN
1. pemilihan eksplan
2. eksplan dicuci kemudian disterilkan dengan sterilan, kemudian dibilas dengan air steril selanjutnyaditumbuhkan dalam media padat yang sesuai.
3. eksplan yang dipilih kemudian dikecambahkan dalam media padat selama waktu yang ditentukan
4. inokulasi bakteri
Agrobacterium rhizogenes ( biasanya strain LBA 9457) ditumbuhkan dalam media yeast manitol broth (YMB) padat yang tersusun dari yeast extract (0.4 g/l), manitol (10 g/l), NaCl (0.1 g/l),MgSO4 7H2O (0.2 g/l), KH2PO4 (0.5 g/l) dan agar-agar (7 g/l) sebagai bahan pemadat. Media YMB padat yang digunakan diatur dengan pH 7.0 Sebelum diautoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1.5 psi selama 20 menit. Induksi pembentukan akar rambut dilakukan dengan cara menusukkan jarum preparat yang telah dicelupkan ke koloni bakteri umur 3 hari ke bagian hipokotil dari eksplan.
Pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang diinfeksi Agrobacterium diamati selama 21 hari. Induksi yang dilakukan menyebabkan infeksi dan menghasilkan akar berambut. Morfologi akar rambut yang terbentuk bervariasi dari yang tebal, kaku, dan pendek atau langsing dan memanjang. Akar rambut yang muncul dari hipokotil maupun dari bagian kecambah yang lain diisolasi dan ditanam dalam media MS padat tanpa penambahan ZPT (MS-0) yang mengandung antibiotika. Antibiotika ditambahkan dalam media untuk mematikan Agrobacterium yang tersisa. Akar rambut yang tumbuh disubkultur ke dalam media dengan antibiotika yang masih segar setiap 14 hari dan subkultur dilakukan sampai tiga kali. Setelah tiga kali subkultur, akar rambut yang berhasil tumbuh dengan baik dalam media MS-0 padat tersebut selanjutnya dipindahkan ke media MS-0 cair tanpa antibiotik, diinkubasikan diatas pengocok (shaker) dengan kecepatan putaran 100 rpm, dan diletakkan dalam ruang kultur yang diatur pencahayaannya (1000 lux) selama 12 jam, dengan suhu ruangan rata-ratanya antara 25 –27°C.








HASIL

Selain akar rambut yang berkembang dari jaringan yang diinfeksi oleh Agrobacterium, sejumlah akar rambut yang tumbuh dari bagian yang tidak diinokulasi juga diisolasi dan ditanam dalam media MS-0 yang mengandung antibiotik. Hasil pengamatan menunjukkan akar rambut yang berkembang dari bagian yang diinfeksi Agrobacterium mampu tumbuh dengan baik dalam medium MS-0. Sebaliknya, akar rambut yang diisolasi dari bagian kecambah yang lain tidak mampu berkembang dan mati dalam media MS-0.
Frekuensi didapatkannya galur akar rambut yang dapat tumbuh dalam media tanpa ZPT dalam penelitian ini relatif sangat rendah. Hal ini sebagian disebabkan salah satunya oleh kesulitan dalam mematikan kontaminan Agrobacterium setelah proses transformasi genetik selesai dilakukan. Kesulitan dalam menghilangkan kontaminan Agrobacterium telah dilaporkan sebagai salah satu kendala utama dalam meningkatkan frekuensi hasil transformasi genetik dengan bantuan Agrobacterium (Shackelford & Chlan 1996). Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya berbagai faktor lain yang menyebabkan rendahnya frekuensi transformasi mengingat transfer T-DNA dari Agrobacterium ke tanaman merupakan proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari sisi tanaman dan dari sisi Agrobacterium (Gelvin 2000).

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KULTUR AKAR BERAMBUT :
- Galur bakteri
- Spesies tanaman yang akan dikultur
- Bagian eksplan yang akan digunakan
- Komposisi media
- Inisiasi meliputi pertumbuhan, perkembangan, dan figure kultur.




KELEBIHAN
1. Akar rambut dapat meningkatkan produksi dan kapasitas metabolit sekunder. Manipulasi yang dapat dilakukan antara lain seleksi galur akar rambut yang produktif, optimasi kondisi media kultur dan induksi produksi senyawa aktif dengan perlakuan elisitasi (Fu 1999).
2. Regenarasi dan kestabilan genetik yang tinggi
3. Dapat menggunakan medium tanpa penambahan zat pengatur tumbuh.

KERUGIAN KULTUR AKAR BERAMBUT :
1. Tidak semua metabolit sekunder yang diinginkan dihasilkan oleh kultur akar berambut karena hasil metabolit sekunder dari kultur tersebut tidak dapat dipastikan.
2. Scalling up dengan bioreactor terlalu rumit.

KESIMPULAN
Dari beberapa kelebihan kultur akar berambut dapat digunakan untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder pada tanaman. Salah satunya adalah kestabilan genetik dan mudah dimanipulasi untuk peningkatan produktivitasnya. Manipulasi ini bisa dalam bentuk elisitasi dsb.

DAFTAR PUSTAKA
Fu TJ. 1999. Plant cell and tissue culture for food ingredient production. Di dalam: Fu TJ,
Sing G, Curtis WR (ed.) Plant Cell and Tissue Culture for the Production of Food
Ingredient. New York:Kluwer Academic/Plenum Publishers. hlm 1- 6
Gelvin SB. 2000 Agrobacterium and plant genes involved in T-DNA transfer and
integration. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 51:223-256.
Nilsson O, Olsson O. 1997. Getting to the root: the role of the Agrobacterium rhizogenes
rol genes in the formation of hairy roots. Physiol Plant 100:463-473.
Payne GF, Bringi V, Prince CL,Shuler ML. 1992. Plant Cell and Tissue Culture in Liquid
Systems. New York: John Wiley and Sons.
Savary BJ, Flores HE. 1994. Biosynthesis of defense-related protein in transformed root
cultures of Trichosanthes kirilowii Maxim var. Japonicum (Kitam). Plant Physiol
106:1195-1204.
Shackelford NJ, Chlan CA. 1996. Identification of antibiotics that are effective in
eliminating Agrobacterium tumefaciens. Plant Mol Biol Rep 14(1):50-57.
Sukma, Dewi. 2004, Karakter Pertumbuhan Akar Rambut (Hairy Root) dari Paria Belut (Trichosanthes cucumerina var. Anguina ) pada Perlakuan Sukrosa dan Kasein Hidrosilat dalam Media Kultur Jaringan, Sekolah Pasca sarjana IPB, Bogor

Toppi LSD, Gorini P, Properzi G, Barbieri L, Spano L. 1996. Production of ribosomeinactivating
protein from hairy root cultures of Luffa cyllindrica (L) Roem. Plant
Cell Reports 15:910-913

kultur akar berambut

Pada dekade terakhir ini, perhatian memproduksi metabolit sekunder beralih pada pemanfaatan teknologi kultur akar rambut. Karena adanya penelitian pada awal tahun 1980an yang menyebutkan bahwa akar di beberapa spesies terbentuk dari Agrobacterium rhizogenes yg bisa tumbuh dengan cepat tanpa membutuhkan fitohormon eksogen (Tepfer dan Tempe, 1981. Willmitzer et al, 1982).

Definisi
Akar berambut adalah anak akar yang berupa akar kecil berbentuk seperti rambut halus. Sedangkan yang dimaksud dengan kultur akar berambut adalah suatu metode budidaya akar berambut secara in vitro dengan kondisi yang terkendali dan aseptis.
Kultur akar merupakan kultur jaringan akar yang hidup dan berdiferensiasi secara terorganisir membentuk biomasa akar tanpa kehadiran tipe organ lain dari tanaman seperti batang, tunas atau daun secara in vitro (Payne et al. 1992). Akar yang dikulturkan dapat berupa akar normal atau akar transgenik hasil transformasi genetik. Kultur akar normal diperoleh dengan menanam ujung akar tanaman atau kecambah secara in vitro dalam media yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman. Sedangkan kultur akar transgenik diperoleh dengan menanam akar rambut (hairy root) yang dihasilkan dari transformasi genetik dengan bantuan Agrobacterium rhizogenes.

Gambar 1. Kultur Akar Berambut

Kegunaan
Kultur akar berambut merupakan kultur organ pada teknik kultur jaringan tanaman yang utamanya digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder.

Kaitan Kultur Akar Berambut dengan Metabolit Sekunder
Kultur akar berambut yang telah dilakukan yaitu kultur dari akar yang merupakan hasil transformasi sel tanaman dengan Agrobacterium rhizogenes. Agrobacterium merupakan bakteri tanah yang mempunyai kemampuan untuk mentransfer T-DNA dari plasmid yang dikenal dengan Ri plasmid (root inducing plasmid) ke dalam sel tanaman melalui pelukaan (Nilson & Olsson, 1997).
Prosesnya adalah sebagai berikut, T-DNA akan terintegrasi pada kromosom tanaman dan akan mengekspresikan gen-gen untuk mensintesis senyawa opine, di samping itu T-DNA juga mengandung onkogen yaitu gen-gen yang berperan untuk menyandi hormon pertumbuhan auksin dan sitokinin. Ekspresi onkogen pada plasmid Ri mencirikan pembentukan akar adventif secara besar-besaran pada tempat yang diinfeksi dan dikenal dengan ‘hairy root’ (Nilson & Olsson, 1997).
Penyerangan terhadap akar oleh bakteri Agrobacterium rhizogenes yang menyebabkan tumbuhnya akar berambut secara cepat pada eksplan. akan dapat menghasilkan metabolit sekunder.
Kultur akar rambut tersebut telah digunakan untuk mempelajari keberadaan senyawa bioaktif seperti ribosome inactivating protein (RIP) atau senyawa bioaktif lainnya (alkaloida, flavonoida, poliaetilena dan fitoaleksin) (Toppi et al. 1996; Savary & Flores 1994). Akar rambut dari L. cylindrical dilaporkan memproduksi RIP yang diberi nama luffin dengan kuantitas dan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diproduksi oleh bagian tanaman lainnya (Toppi et al. 1996).

Aplikasi Kultur Akar Berambut
Teknik ini merupakan suatu pilihan kultur organ yang digunakan ketika metabolit sekunder tidak dapat dihasilkan oleh sel. Metabolit sekunder umumnya muncul saat sel telah terdiferensiasi.

Metode
1. Pemilihan eksplan
2. Eksplan dicuci lalu disterilkan dengan sterilan, kemudian dibilas dengan air steril selanjutnya ditumbuhkan dalam media padat yang sesuai.
3. Eksplan yang dipilih kemudian dikecambahkan dalam media padat selama waktu yang ditentukan.
4. Inokulasi bakteri
Agrobacterium rhizogenes strain LBA9457 ditumbuhkan dalam media yeast manitol broth (YMB) padat yang tersusun dari yeast extract (0,4 g/l), manitol (10 g/l), NaCl (0,1 g/l), MgSO4.7H2O (0,2 g/l), KH2PO4 (0,5 g/l), dan agar-agar (7 g/l) sebagai bahan pemadat. Induksi pembentukan akar rambut dilakukan dengan cara menusukkan jarum preparat yang telah dicelupkan ke koloni bakteri umur 3 hari ke bagian hipokotil dari eksplan.

Contoh penelitian dalam teknik kultur akar berambut adalah eksplan batang dan daun berasal dari kecambah aksenik C. ledgeriana dan C. succirubra berumur 8 bulan diinokulasi dengan A. rhizogenes galur 15834, 8196, R-20001, 07-20001, A4, R.MAFFA,TISTR 509, TISTR 510 dan LBA 9457. Eksplan yang sudah diinokulasi dikulturkan dalam medium MS padat. Subkultur dilakukan dengan cara mentransfer potongan ujung akar rambut ke dalam medium cair MS, B5, White dan Heller. Akar rambut dari medium kultur yang terbaik kemudian disubkultur ke dalam medium yang sama dengan penambahan 50 dan 100 mg/L L-triptofan dengan konsentrasi vitamin sebanyak tiga kali dan lima kali dari konsentrasi normal MS. Integrasi TDNA dalam akar rambut dikonfirmasi menggunakan Polymerase Chain Reaction dengan primer spesifik untuk TL dan TR-DNA plasmid. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya A.rhizogenes galur LB9457 yang efektif menginfeksi eksplan baik batang maupun daun dari kedua spesies kina. Induksi, pertumbuhan dan vigor akar rambut yang terbaik diperoleh dari medium MS dengan penambahan 50 mg/L L-triptofan dan tiga kali konsentrasi vitamin. Hasil konfirmasi akar rambut baik dari batang maupun daun menggunakan PCR, menunjukkan bahwa TL dan TR-DNA dari Ri plasmid A. rhizogenes mampu menghasilkan pita-pita DNA dengan BM780 dan 1600 pb. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa (Mathius, dkk, 2006).

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kultur akar berambut antara lain:
1. Galur Agrobacterium rhizogenes
2. spesies tanaman
3. sumber eksplan dan
4. komposisi medium
Keempatnya berpengaruh terhadap inisiasi, pertumbuhan, perkembangan dan vigor akar rambut

Keuntungan Kultur Akar Berambut:
1. Hasilnya yang relatif seragam
2. Memiliki kestabilan genetik yang tinggi.
3. Mudah dilakukan elisitasi untuk peningkatan jumlah produksi metabolit sekunder.
4. Kapasitas metabolit sekunder lebih besar daripada tanaman asal.
5. Merupakan metode yang ideal untuk mempelajari kandungan senyawa aktif yang diproduksi tanaman karena akar rambut dapat melakukan sintesis senyawa aktif yang diinginkan dan dapat tumbuh stabil dalam media in vitro
6. Prosesnya yang relatif mudah yaitu penggunaan media untuk tumbuh tidak memerlukan penambahan zat pengatur tumbuh.
7. Mudah untuk memanipulasi berbagai faktor dalam kultur jaringan yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi biomasa atau senyawa aktif yang diinginkan. Manipulasi yang dapat dilakukan antara lain seleksi galur akar rambut yang produktif, optimasi kondisi media kultur dan induksi produksi senyawa aktif dengan perlakuan elisitasi (Fu 1999).
8. Kultur akar ini bisa di regenerasi. sedangkan pada kultur sel, viabilitas sel dapat hilang dengan beberapa kali subkultur.
Kerugian Kultur Akar Berambut:
1. Pembentukan akar berambut tidaklah mudah karena keberhasilan transformasinya rendah.
2. Tidak semua yang dihasilkan oleh kultur akar berambut adalah metabolit sekunder yang kita inginkan, sehingga hasil metabolit sekunder dari kultur akar berambut tidak dapat dipastikan.
3. Rendahnya tingkat keberhasilan transformasi eksplan dengan Agrobacterium rhizogenes dan pertumbuhannya yang lambat
4. Sulitnya scaling-up dengan rancang bangun bioreaktor.

Untuk meningkatkan produktivitas kultur akar berambut ini dapat dilakukan salah satunya adalah dengan cara elisitasi menggunakan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder.


DAFTAR PUSTAKA
Mathius, N.T, dkk, 2006, Pengaruh elisitasi terhadap pertumbuhan dan produksi alkaloida kinolin dari akar rambut tanaman kina (Cinchona succirubra Pavon ex Klotzsch). Menara Perkebunan, 74 (1), 10-22
Mathius, N.T, dkk, 2006, Hairy Root Culture Of Cinchona ledgeriana and C. Succirubra By In Vitro Culture. [Tersedia online], diakses tanggal 2 Desember 2009, pukul 17.00
Mathius, N.T, dkk, 2006, Hairy root culture in vitro and the application of dual culture for growth and development of endomycorrhiza ( Gigaspora sp. and Acaulospora sp.). [Tersedia online], diakses tanggal 2 Desember 2009, pukul 17.00
Nilsson O, Olsson O, 1997, Getting to the root: the role of the Agrobacterium rhizogenes rol genes in the formation of hairy roots, Physiol Plant 100:463-473
Payne GF, Bringi V, Prince CL,Shuler ML, 1992, Plant Cell and Tissue Culture in Liquid Systems, John Wiley and Sons, New York
Savary BJ, Flores HE,1994, Biosynthesis of defense-related protein in transformed root cultures of Trichosanthes kirilowii Maxim var. Japonicum (Kitam), Plant Physiol 106:11
Toppi LSD, Gorini P, Properzi G, Barbieri L, Spano L. 1996, Production of ribosomeinactivating protein from hairy root cultures of Luffa cyllindrica (L) Roem, Plant Cell Reports 15:910-913.
Srivastava, S., Srivastava, A. K., 2007, Hairy Root Culture for Mass Production of High-Value Secondary Metabolites, Critical Reviews in Biotechnology 27: 29-43.

Jalur Biosintesis 2

Jalur biosintesis merupakan urutan pembentukan suatu metabolit dari molekul yang paling sederhana hingga molekul yang paling kompleks. Misalnya pembentukan metabolit sekunder yang diproduksi melalui jalur biosintesis yang panjang yang melibatkan banyak enzim. Selain itu, jalur biosintesis metabolit sekunder dapat terdiri dari berbagai jalur, mulai dari yang sederhana sampai dengan jalur yang rumit. Keragaman biosintesis metabolit sekunder tergantung dari go¬Iongan senyawa yang bersangkutan. Jalur yang biasanya dilalui dalam pembentukan metabolit sekunder ada tiga jalur, yaitu jalur asam asetat, jalur asam sikimat, dan jalur asam mevalonat. Untuk menghasilkan metabolit sekunder pada jalur tersebut digunakan prekursor tertentu.
Pengetahuan akan jalur biosintesis ini memungkinkan untuk melakukan modifikasi dari jalur tersebut sehingga dapat diproduksi metabolit dalam jumlah yang lebih banyak dan dalam waktu yang lebih singkat, mengetahui struktur metabolit yang dihasilkan, kemudian dapat dilakukan sintesis untuk menghasilkan derivatnya. Modifikasi dapat dilakukan dengan cara:
1. Blocking suatu jalur untuk mengoptimalkan jalur yang lain, misalnya:

Penghambatan jalur asetat-mevalonat pada pembentukan isoprene dapat meningkatkan produksi isoprene pada jalur triosa-piruvat.
2. Penambahan enzim, precursor, senyawa intermediet, atau substrat ( aktivasi enzim )
Penambahan zat-zat tersebut pada step biosintesis yang tepat dapat meningkatkan produksi metabolit.
Misalnya : Penambahan squalen pada kultur suspensi sel mimba sebagai precursor pembentukan azadirachtin dilakukan saat produksi azadirachtin meningkat. Sehingga perlu dibuat kurva pertumbuhan (Zakiyah,zulfa, et al, 2003).
3. Modifikasi kondisi lingkungan pertumbuhan
Lingkungan tertentu atau pada kondisi tertentu dapat memicu sel untuk menghasilkan suatu metabolit. Berdasarkan hipotesis yang dipercaya selama ini bahwa tumbuhan membentuk metabolit sekunder dalam kondisi tertekan, karena salah satu fungsi dari metabolit sekunder tersebut adalah sebagai bentuk respon tubuh tumbuhan terhadap kondisi lingkungan untuk mempertahankan hidupnya.
Misalnya : Inkubasi kultur tunas dari Marrubium vulgare untuk memproduksi marrubiin dilakukan pada kondisi etiolase (Raeuteur, Knoss, et al, 1997).

Untuk mencari jalur biosintesis suatu metabolit dapat dilakukan dengan cara:
1. Pemetaan jalur biosintesis, dengan cara :
a. Pendekatan klasik dengan mengidentifikasi jalur biosintesis tiap individu
b. Isolasi enzim
c. Mengkloning gen pengkode
2. Mencari database mengenai jalur biosintesis suatu metabolit yang telah diteliti

Metode “jalur biosintesis” ini memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan
dengan metode optimasi produksi metabolit sekunder pada kultur jaringan tanaman yang lain, diantaranya :

1. Tidak ada step tambahan untuk perlakuan kultur
2. Pelaksanaan relative mudah
3. Predictable
Saat penambahan prazat sudah dapat dipastikan dapat meningkatkan metabolit sekunder meskipun sedikit, kadar prazat yang berlebihan (melebihi kadar optimum) dapat meracuni sel terutama prazat yang bersifat toksik bagi sel.

Teknik ini juga tidak memiliki kerugian yang berarti, meskipun peneliti salah menentukan jalur biosintesis, hal ini tidak berakibat fatal bagi sel (sel tidak sampai mati) selain itu metabolit masih dapat diproduksi. Kerugian hanya sebatas pada penambahan substrat atau prazat yang salah tersebut.


REFERENSI
Knoss, W, Reuter, B, 1997, Biosynthesis of isoprenic units via different pathways :
Occurrence and future prospects, Institute of Pharmaceutical Biology,
University of Bonn, Germany

Zakiah,Zulfa,dkk, 2003, Peningkatan Produksi Azadirahtin dalam Kultur Suspensi Sel
Azadirachta indica A.Juss melalui Penambahan Skualen, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Tanjungpura, Pontianak

sel amobil

Deskripsi Sel Amobil
Teknik sel amobil adalah teknik yang dilakukan dengan cara melakukan penjerapan sel pada matriks tertentu. Matrik yang biasa digunakan misalnya alginate, poliakrilamid, agar. Teknik ini biasanya digunakan untuk meningkatkan kadar metabolit sekunder tanpa terpengaruh oleh pertumbuhan sel.
Keunggulan Teknik Sel Amobil
• mampu menggunakan kembali biomasa yang mahal harganya
• mampu secara fisikawi memisahkan antara sel, media, dan produk
• meningkatkan daya guna bioreaktor
• mampu beroperasi secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama (Payne et al.,1992).
Pembuatan Matriks
 Pembentukan gel dengan proses pengikatan-silang ionic dari polimer yang bermuatan
 Pembentukan gel dengan pendinginan polimer yang dilarutkan dengan pemanasan
 Pembentukan gel dengan reaksi kimia. (Brodelius,1985)


Kegunaan :
 Mencegah gesekan sel dengan dinding bioreaktor.
 Mencegah terjadinya agregasi/gumpalan sel, karena kalau terjadi agregasidapat mengakibatkan sel terdiferensiasi.
Kaitan sel amobil dengan produk metabolit sekunder
Sel amobil merupakan sel yang dijerap dalam suatu matriks. Biomassa yang tertahan pada media amobil akan menghasilkan metabolit yang lebih tinggi dan meningkatkan konsentrasi produk. Hali ni dikarenakan sel yang tertahan akan mengalami stress sehingga produksi metabolit akan meningkat dengan sendirinya dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kultur sel biasa. Ditinjau dari hal ini, tekhnik amobilisasi juga dapat dikatakan lebih ekonomis. Keberhasilan dari amobilisasi sel ini sangat dipengaruhi oleh media. Pertumbuhan sel amobil lebih lambat dari pada kultur suspensi sel. Jadi laju pertumbuhan spesifik produk dapat dikendalikan, pembentukan produk tidak terkait dengan laju pertumbuhan. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa amobilisasi sel dapat meningkatkan produksi diosgenin sebesar 4 dan 10 kali pada sel halus dan 8 dan 3 kali pada sel kasar dibandingkan tanpa penambahan ekstrak khamir dan kolesterol. Penelitian lain menyebutkan bahwa teknik amobilisasi sel dapat meningkatkan kadar andrografolid sampai 2 kali dari kultur suspensi sel dalam Erlenmeyer dan 3 kali dari kultur suspensi sel dalam bioreaktor.

Kadar metabolit sekunder yang diproduksi dengan tehnik suspensi sel terkadang menunjukkan hasil yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tanaman utuh. Terlebih jika sistem kultur suspensi sel dilakukan dengan skala industri, akan timbul banyak masalah yang harus diselesaikan, utamanya yang terkait dengan “dinamika sel”, teristimewa pada kemampuan sel untuk memproduksi metabolit sekunder dalam keadaan tidak terdiferensiasi dan terorganisasi akan menurun dan yang paling kecil adalah dalam sistem kultur suspensi sel (Dougall.1985). Persoalan lain yang harus diselesaikan dalam sistem kultur suspensi sel adalah pengaturan diferensiasi, organisasi, dan pembentukan produk, ciri khas pertumbuhan sel, ketidakmantapan sel tumbuhan, kecenderungan sel untuk membentuk gumpalan, kerentanan sel terhadap gesekan, dan kesulitan dalam pemisahan produk dari biomasa (Brodelius,1990; Payne et al., 1992). Penyelesaikan persoalan tersebut, misalnya dengan melakukan seleksi media, rancang bangun bioreaktor, dan pemisahan produk. Namun demikian, biomasa yang mahal hanya sekali unduh, isolasi produk dengan mendestruksi biamasa tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka dipilih sistem sel amobil sebagai alternatif unggulan. Sistem sel amobil merupakan teknik pilihan karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain mampu menggunakan kembali biomasa yang mahal harganya, mampu secara fisikawi memisahkan antara sel, media, dan produk, meningkatkan daya guna bioreactor, dan mampu beroperasi secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama (Payne et al.,1992).

Proses Amobilisasi Sel

Penggunaan sistem sel amobil telah lama diterapkan terhadap mikrobia maupun enzim dengan hasil yang menjanjikan, bahkan telah diterapkan dalam sekala industri (Swalsgood, 1985). Penyediaan sel amobil pada dasarnya adalah penjerapan sel dengan matriks tertentu. Polimer merupakan bahan yang banyak digunakan dalam amobilisasi sel dan prinsip kerjanya ada tiga macam, yaitu pembentukan gel dengan proses pengikatan-silang ionic dari polimer yang bermuatan, pembentukan gel dengan pendinginan polimer yang dilarutkan dengan pemanasan, dan pembentukan gel dengan reaksi kimia (Brodelius,1985). Secara berturut-turut dari prinsip tersebut adalah gelatin yang berikatan silang dengan glutaraldehida, agar atau agarosa, dan natrium alginat menjadi kalsium alginat. Walaupun sistem sel amobil dapat menyelesaikan masalah yang timbul dalam kultur suspensi sel, namun juga timbul persoalan baru, antara lain keterbatasan partisi dan difusi (perpindahan massa), pengukuran parameter sel, dan pembebasan dan perolehan produk (Brodelius, 1990). Untuk membebasan produk dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pelarut organic, ultrasonifikasi, dan ionoforetik atau elektropermeabilisasi (Hunter dan Kilby,1988).
Proses amobilisasi sel diawali dengan menginisiasi kalus dengan cara penanaman eksplan pada media padat aseptis yang telah ditambahkan zat pengatur tumbuh. Setelah ditutup dengan kertas aluminium, selanjutnya diinkubasi pada suhu (25 ± 3)° C hingga terbentuk kalus. Setelah kalus cukup besar, dilakukan subkultur, yaitu memindahkan kalus yang telah dibagi ke media padat. Subkultur dilakukan berulang kali hingga diperoleh kalus yang meremah (friable). Dari kalus tersebut dibuat kultur suspensi sel dengan media cair; kemudian diinkubasikan dengan digojog pada gyrorotary shaker (penggojog-berpusing). Selanjutnya dilakukan subkultur sehingga diperoleh biomasa yang cukup. Suspensi sel yang diperoleh disaring. Biomasa yang lolos disebut sel halus dan yang tertinggal di penyaring disebut sel kasar. Amobilisasi dilakukan terhadap suspensi sel halus dan suspensi sel kasar dalam larutan natrium alginat. Manik-manik yang mengandung sel (sel amobil) diinkubasi dalam media cair sebagai control, media produksi ditambah elisitor, ditambah elisitor dan prazat/precursor. Pertumbuhan sel untuk kultur sel amobil diamati berdasarkan berat kering (BK) sel. Sel yang diamobilisasi tumbuh lebih lambat dari pada kultur suspensi sel. Kadar dalam sampel kultur sel amobil dianalisis dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography), yang dilengkapi dengan detektor UV (λ=254 nm) (Kadar, 2009).
Menurut Soegihardjo (1987), elisitasi akan meningkatkan metabolisme sekunder, sedangkan penambahan elisitor dan prazat akan lebih meningkatkan metabolisme sekunder. Elisitor, selain ekstrak khamir dapat pula dicoba dengan ekstrak air kapang lain. Demikian juga penambahan prazat, selain kolesterol dapat dicoba pula, misalnya sitosterol atau bahkan skualena. Menurut Indrayanto (1987), pemilahan tanaman yang mempunyai kemampuan metabolism yang tinggi serta pemilihan eksplan juga dapat menjadi modal untuk memperoleh galur sel unggul dengan kemampuan metabolism sekunder yang optimal.

Daftar Pustaka

Brodelius, P.E., 1985, Immobilized Plant Cells, in: Enzymes and Immobilized Cell in Biotechnology,(Laskin, A.I., ed.), 109-148, The Benyamin / Commings Publishing Company, Inc., London.
Brodelius, P.E., 1990, Transport and Accumulation of Secondary Metabolites, in: Current Plant Science and Biotechnology in Agriculture, Vol.IX: Progress in Plant Cellular and Molecular Biology (Nijkamp,H.J., van der Plas, L.H.W., van Aartrijk,J., eds.), 567-576, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht-The Netherlands.
Dougall, D.K.,1985, Variability in Plant Cell Cultures and Its Implications for Process Scale-Up and Development, in: Research Needs in Non Conventional Bioprocesses (Fink, D.J., ed.), 115-119, Batelle Press, Columbus, Richland.
Hunter,C.S. and Kilby, N.J., 1988, Electropermeabilization and Ultrasonic Techniques for Harvesting Secondary Metabolites from Plant Cells in Vitro, in: Manipulating Secondary Metabolism, (R.J.Robins and M.J.C, Rhodes, eds.), 285-289, Cambridge University Press, Cambridge.
Indrayanto,G., 1987, Produksi Metabolit Sekunder dengan Teknik Kultur Jaringan Tanaman, dalam: Prosiding Seminar Nasional Metabolit Sekunder, PAU Bioteknologi UGM, Yogyakarta.
Kadar, V.R., 2009, Peningkatan Kadar Andrografolid dari Kultur Sel Andrographis paniculata (Burm.f.) Wallich ex Ness Melalui Teknik Amobilisasi Sel dalam Bioreaktor, ITB, Bandung.

Payne,G., Bringi,V., Prince.C., Shuler,M., 1992, Plant Cell and Tissue Culture in Liquid Systems, 177-223, Hanser Publishers, Munich-Vienna. Rathore,A.K. & Khanna,P., 1979, Steroidal Constituents of Costus speciosus (Koen) Sm. Callus Cultures, Planta Med., 35: 289-290.
Soegihardjo, 1987, Mencari Kondisi Terbaik untuk Pertumbuhan Kalus pada Kultur Jaringan Costus speciosus Smith., Risalah Seminar Nasional Metabolit Sekunder, 202-208, PAU Bioteknologi UGM, Yogyakarta.
Swalsgood, H.E.,1985, Immobilization of Enzymes and Some Applications in the Food Industry, in: Enzymes and Immobilized Cells in Biotechnology (A.L. Laskin, ed.), 1-24, The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., London-Tokyo.

jalur biosintesis

A. Definisi dan Tujuan
Biosintesis merupakan pembentukkan molekul alami yang terjadi di dalam sel dari molekul lain yang kurang rumit strukturnya, melalui reaksi endeorganik. Sedangkan jalur biosintetis dapat diartikan sebagai urutan atau proses yang di dalamnya terdiri atas tahap-tahap pembentukkan dari senyawa yang sederhana menjadi senyawa kompleks. Proses biosintesis akan berlangsung sangat kompleks, tergantung dari macam enzim yang tersedia sehingga tumbuhan sejenis yang tumbuh di daerah yang berbeda sangat memungkinkan untuk mempunyai jalur pembentukkan metabolit tertentu yang tidak identik (fenomena “vikarias:-Ras Kimia). Alasan mengapa jalur biosintesis perlu dipelajari adalah :
1. Bisa mengubah senyawa awal menjadi senyawa baru yang lebih bermanfaat dengan pertolongan suspensi sel
2. Berdasarkan biosintesis, metabolit sekunder dapat diumpankan dengan prazat untuk menjadi produk yang lebih cepat dengan kultur suspensi sel
3. Mengubah senyawa tertentu menjadi senyawa lain untuk menggantikan reaksi dengan kultur suspensi sel
Cara untuk mengetahui jalur biosintesis pada kultur jaringan adalah :
1. Dengan analisis senyawa kompleks sehingga dapat diketahui building block penyusunnya yang dapat mengarahkan kita kepada senyawa asal dan jalur biosintesisnya.
2. Pelabelan dengan radioisotop.

Kegunaan mengetahui jalur biosintesis adalah dapat melakukan derivatisasi. Setelah kita mengetahui jalur biosintesisnya , dan ternyata jalur biosintesisnya bercabang- cabang maka kita dapat melakukan blocking pada salah satu cabang. Dengan adanya blocking tersebut maka kita dapat meningkatkan metabolit sekunder yang kita inginkan dari jalur biosintesis yang tidak kita blocking.
Cara rekayasa jalur biosintesis :
1. Dengan penambahan substrat, prekursor, atau enzim yang berperan.
Salah satu metode pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder dalam kultur in vitro adalah dengan penambahan prazat. Penambahan prazat ke dalam medium kultur dapat merangsang aktivitas enzim tertentu yang terlibat dalam jalur biosintesis, sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Zakiah, dkk (2003) menunjukkan bahwa penambahan squalen sebagai prazat dapat meningkatkan produksi Azadirahtin pada kultur kalus (Azadirachta indica A.Juss) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP. Penambahan skualen dilakukan setelah kalus suspensi sel berumur 6 hari yang memberikan kadar azadirahtin di dalam sel saat sedang meningkat. Pemberian azadirahtin dilakukan dengan 3 konsentrasi yaitu 10 µM, 100 µM, dan 1000 µM. Hasil penelitian membuktikan bahwa produksi azdirahtin meningkat pesat pada hari ke-4 setelah penambahan azadirahtin pada kultur yang berumur 10 hari dengan kadar 0,0076 ± 0,006 g/g BK atau peningkatan mencapai 85, 366% dibandingkan kandungan azadirahtin tertinggi pada control (0,041 g/g BK).
2. Aktivasi enzim yang berperan dalam jalur biosintesis.
3. Rekayasa faktor lingkungan.
Penambahan prazat dimaksudkan untuk mempersingkat proses biosintesis atau dengan kata lain untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder. Selain penambahan Prazat, pemberian “stress” pada kultur juga dapat mempengaruhi produksi metabolit sekunder. Kejadian yang mungkin timbul karena perlakuan tersebut kemungkinan akan terbentuknya senyawa baru yang tidak terdapat dalam tumbuhan asal (de novo synthesis), akan tetapi umumnya memberikan hasil yang menguntungkan. Jenis “stress” yang umum, misalnya kekurangan air (draught), kekurangan cahaya, kekurangan nutrisi (mineral), suhu di atas atau di bawah optimal.

Umumnya dalam fase pertumbuhan, biosintesis metabolit sekunder berlangsung amat lambat bahkan sering belum mulai. Setelah fase pertumbuhan berakhir, maka fase produksi atau biosintesis metabolit sekunder mulai berlangsung. Penambahan prazat dimaksudkan untuk mempersingkat proses biosintesis atau dengan kata lain untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder. Guna penambahan prazat pada jalur biosintesis dalam produksi metabolit sekunder:
1. Untuk senyawa yang dikehendaki dapat ditingkatkan jumlahnya dengan cara memanipulasi media maupun dengan penambahan senyawa prekursor/prazat ,merangsang aktivitas enzim tertentu yang terlibat dalam jalur biosintesis, sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder, contohnya penambahan skualen yang memberi pengaruh nyata dalam meningkatkan kandungan azadirahtin di dalam sel sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zakiah(2003).
2. Mendapatkan metabolisme sekunder yang merupakan bentuk diferensiasi dari sel-sel tanaman.
3. Untuk memperoleh kandungan metabolit sekunder yang lebih tinggi dari induknya.

B. Pengaturan terhadap Jalur Biosintesis
Pengaturan terhadap jalur biosintesis dalam produksi metabolit sekunder dilakukan saat:
1. Rendahnya ekspresi dari gen-gen yang mengontrol tahap-tahap penting dari jalur biosintesis
2. Untuk mendapatkan senyawa tertentu yang sangat dibutuhkan dalam suatu obat. Dengan demikian dalam jalur biosintesis tanaman tersebut ditambahkan suatu prekursor seperti menggunakan jalur biosintesis triptofan untuk menyediakan prekursor terhadap sintesis hormon auksin (Indole-3-acetic acid/ IAA), fitoaleksin, glukosinolat, dan indole- serta anthranilat yang keduanya merupakan derivat alkaloid.

Keuntungan dan Kerugian dari Pengaturan Jalur Biosintesis
Keuntungan mengetahui jalur biosintesis :
1. Lebih mudah dilakukan bila dibandingkan dengan cara peningkatan metabolit sekunder dengan cara lain.
2. Keberhasilan dalam memperoleh metabolit sekunder dalam jumlah tinggi dapat dipastikan lebih besar dari jalur biosintesis biasa.
3. Tidak diperlukan perlakuan khusus selama pengkulturan.
4. Resiko relatif lebih rendah dibanding cara lain.Kalaupun ada kegagalan, maka metabolit sekunder yang dihasilkan cenderung tetap seperti semula saat tanpa menggunakan jalur biosintesis atau tidak mengalami penurunan dalam hasil metabolit sekundernya.
Kelemahan pada teknik ini hanyalah dibutuhkannya pengetahuan yang lebih, terutama tentang jalur biosintesis untuk pembentukkan metabolit sekunder yang dituju. Secara umum jalur biosintesis lebih menguntungkn dibanding dengan teknik yang lain.

Daftar Pustaka
Manito, Paolo.1992.Biosintesis Produk Alam.IKIP Press. Semarang.
Soegihardjo, C.J. 2007. Pengaruh Stress terhadap Produksi Metabolit Sekunder. Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta.
Zakiah, Zulfa.,dkk. 2003. Peningkatan Produksi Azadirahtin dalam Kultur Suspensi Sel Azadirachta indica A.Juss melalui Penambahan Skualen dalam Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8 No. 4, Desember 2003, hal 141 – 146.

elisitasi 2

Elisitasi merupakan penimbulan, atau perekayasaan proses dengan penambahan suatu elisator, pada sel tumbuhan dengan tujuan menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder.
Elisator ada 2 kelompok, yaitu elisator abiotik dan elisator biotic
1 Elisator abiotik, bisa berasal dari senyawa anorganik , radiasi secara fisik, seperti ultraviolet, logam berat, dan detergen
2 Elisator biotic dapat dikelompokkan dalam elisator endogen,dan elisator eksogen,yaitu
i. Elisator endogen, umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari dinding sel ( oligogalakturonat ) yang rusak. Rusaknya dinding sel ini, disebabkan oleh suatu serangan pathogen. Dinding sel yang rusak dan terluka oleh karena aktivitas enzim hidrolisis dari serangan pathogen.
ii. Elisator eksogen, bisa berasal dari dinding jamur misalnya kitin, atau glukan. Selain itu dapat berupa senyawa yang disintesis, misalnya protein ( enzim ) ( Salisburry & Ross, 1995 ).
Bukti :
1 Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa metode elisitasi dapat meningkatkan kandungan fitoaleksin dan metabolit sekunder lain pada tumbuhan tertentu
.- Kandungan fitoaleksin kapsidiol pada kultur sel Capsicum annuum dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan ekstrak dari spora dan miselium Gliocladium deliquescens
2 Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida albicans.


Contoh cara elisitasi pada C.roseus :
1. Potongan daun C. roseus yang ditanam pada medium dengan penambahan 2,5 mM NAA dan 10 mM BAP mulai menunjukkan pertumbuhan kalus pada hari ketujuh. Pada awal pertumbuhan kalus berwarna putih kemudian setelah 24 jam berubah menjadi coklat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan terjadi sebelum adanya sintesis metabolit sekunder. Diduga nutrien yang diperoleh dari medium digunakan untuk pembelahan sel terlebih dahulu, tetapi karena adanya cekaman, nutrien selanjutnya digunakan untuk sintesis metabolit sekunder. Warna coklat pada kalus menandakan terjadinya sintesis senyawa fenolik. Dalam penelitian ini, sel mengalami cekaman karena luka pada jaringan, selain cekaman dari medium. Vickery&Vickery (1980) menyatakan bahwa sintesis senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Setelah disubkultur pertumbuhan kalus lebih cepat dan pencoklatan berkurang. Hasil ini memperlihatkan bahwa sel sudah mulai beradaptasi dengan lingkungannya.
Kalus mengalami fase lag pada umur 0 sampai 4 hari. Pertumbuhan sel meningkat masuk pada fase eksponensial pada umur 4 sampai 28 hari, dan fase stasioner pada umur 28 sampai 40 hari. Pertumbuhan sel lambat, terlihat dari kecilnya pertambahan berat kering kalus setiap selang dua hari. Hal ini disebabkan nutrien yang tersedia tidak hanya digunakan untuk pertumbuhan kalus tetapi juga untuk kepentingan lain, seperti sintesis metabolit sekunder. Pemberian elisitor sampai pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan kandungan ajmalisin, tetapi pada konsentrasi lebih tinggi dapat menurunkan kandungan ajmalisin. Kandungan ajmalisin tertinggi didapat setelah pemberian 0,5 mg BK/ml elisitor, pada pemanenan 36 jam, yaitu sebesar 440,572 + 9,687 mg/g BK.
Peningkatan kandungan ajmalisin setelah diberi elisitor kemungkinan disebabkan oleh peningkatan sintesis protein atau enzim yang terlibat langsung dalam sintesis ajmalisin. Pasquali et al (1992) melaporkan bahwa penambahan elisitor ragi dan P. aphanidermatum pada kultur sel C. roseus pada medium LS dengan penambahan NAA dan Kinetin meningkatkan transkripsi mRNA untuk enzim striktosidin sintase (SS) dan triptofan dekarboksilase (TDC). Kedua enzim ini sangat penting dalam sintesis ajmalisin. Peningkatan kedua enzim ini dapat meningkatkan sintesis ajmalisin.
Konsentrasi elisitor dan waktu pemanenan atau waktu kontak antara elisitor dengan kalus mempengaruhi kandungan ajmalisin dalam kultur kalus C. roseus. Selain itu penambahan elisitor pada kultur kalus C. roseus yang ditanam pada medium produksi (Zenk) mampu meningkatkan kandungan ajmalisin. Asada & Shuler (1989) melaporkan hal serupa, yaitu elisitasi kultur sel C. roseus pada medium produksi (MS+8% sukrosa) dengan homogenat Phytophtora cactorum mampu meningkatkan serpenti dan ajmalisin sampai 60%.
Elisitasi kultur kalus C. roseus dengan homogenat (elisitor) P. aphanidermatum dapat meningkatkan kandungan ajmalisin. Konsentrasi elisitor 0,5 mg BK/ml merupakan konsentrasi terbaik yang dapat meningkatkan kandungan ajmalisin pada pemanenan36 jam (Fitriani, 2003).
Dari contoh diatas, mekanisme elisitasinya sebagai berikut :
Elisitor berupa bahan tambahan (contoh: ragi danP.aphanidermatum ) diberikan ke dalam media tetapi diberi tambahan lain (contoh : NAA , BAP, dan Kinetin ) untuk membantu kinerja elisitor.

Kegunaan elisitasi :
Meningkatkan aktivitas atau kelompok enzim spesifik yang mengkatalis reaksi biokimia yang diinginkan ( Roberts, 2005).

Waktu penggunaan metode elisitasi :
1 Ketika penggunaan metode kultur jaringan konvesional (Kultur suspensi sel, dsb) memberikan hasil metabolit yang tidak optimal (sedikit).
2 Sudah diketahui enzim spesifik penghasil metabolit sekuder serta medium paling tepat agar berhasil meningkatkan produksi metabolit sekunder.

Alasan pemilihan metode elisitasi :
1 Beragam sistem kultur sel pada tanaman tidak memberikan metabolit yang bernilai tinggi (Amid dan Jamal,2009).
2 Dibandingkan dengan berbagai macam metode untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder seperti optimasi media,cell line selection, cell immobilization,penambahan precursor,transformasi genetic,kultur rambut akar;elisitasi merupakan metode yang paling berhasil memproduksi metabolit sekunder dalam kultur sel dari berbagai tanaman (Amid dan Jamal,2009).
Pengaruh Elisitasi :
Pada proses elisitasi, walau terjadi peningkatan asupan hara tetapi pertumbuhan tanamn terhambat. Hal ini dikarenakan tumbuhan memerlukan banyak energi untuk membentuk metabolit sekunder sebagai pertahanan diri atas serangan patogen.

Keuntungan :
1. Sebagai strategi dalam menginduksi dan meningkatkan pementukan metabolit sekunder.
2. Dapat meningkatkan aktivitas enzim- enzim yang berkaitan dengan pembentukan metabolit sekunder.
Kerugian :
1. Prosedur kompleks, misal untuk mendapatkan hasil maksimum diperlukan kultur dengan dua tahap.
2. Kadar konsentrasi elisitor harus optimum, konsentrasi elisitor adalah titik kritis dalam keberhasilan elisitasi. Jika penambahan kurang tepat malah akan mengurangi produksi metabolit sekundernya.
3. Sulit untuk meningkatkan produksi dua atau lebih metabolit sekunder yang kita inginkan dalam sati sistem elisitasi.
4. Meningkatkan produksi metabolit sekuder tetapi kadang petumbuhan terhambat.
5. Membutuhkan senyawa spesifik untuk setiap metabolit sekunder (Verpoorte et al,1994).
Penggunaan Elisitasi dalam KJT
Elisitasi sendiri sebenarnya terjadi secara alami di alam. Dalam KJT, penambahan elisitor dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan metabolit sekunder dari tanaman tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amid,A., dan P.Jamal, 2009, Optimization of the Elicitation Process on Chrysanthemum indicum Cell Suspension Culture Producing Xanthine Oxidase Inhibitor , Journal of Applied Science Vol .9, Page 2256-2263.
Fitriani, Any, 2003, Kandungan Ajmalisin Pada Kultur Kalus Catharanthus Roseus (L.) G. Don Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium Aphanidermatum Edson Fitzp., http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/06223/any_fitriani.htm,diakses 4 desember 2009
Roberts, Susan C., 2005, plant metabolic engineering for pharmaceutical production, www.metabolicengineering.gov/me2005/Roberts.pdf diakses 4 desember 2009
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Ed.IV, 15-16, 38-48, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung.

Salisburry, F.B., dan Ross, C.W., 1995, Fisiologi Tumbuhan, Ed III, 286-288, diterjemahkan oleh Dyah R. Lukman dan Sumaryono, ITB, Bandung.


Verpoorte, R., R.van der Heijden, J.H.C. Hoge dan H.J.G ten Hoopen, 1994, Plant Cell Biotechnology for The Production of Secondary Metabolites, PureaAnd Applied Chemistry No.10/11, Page 2307-2310, Great Britain

elisitasi

Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Elisitor terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik dan elisitor biotik (Logemann 1995). Selain itu, elisitasi merupakan suatu respon dari suatu sel untuk menghasilkan metabolit sekunder. Dalam hal ini adanya interaksi patogen dengan inang akan menginduksi pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk pada tumbuhan tinggi sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan antibody yang terbentuk sebagai respons imun pada hewan (Yoshikawa&Sugimito, 1993). Elisitor selain dapat menginduksi sentesis fitoaleksin, ternyata dapat juga menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur kalus dan sel (Eilert et al 1986).
Kegunaan elisitasi yaitu merangsang suatu tanaman untuk menghasilkan fitoaleksin. Suatu tanaman dapat menghasilkan fitoaleksin jika tanaman tersebut mendapatkan cekaman. Cekaman tersebut dapat berupa serangan ataupun perlukaan pada sel tanaman. Sel tersebut akan merespon serangan dengan mekanisme pertahanan, dan zat yang dihasilkan dari mekanisme pertahanan tersebut merupakan fitoaleksin.
Hubungan elisitasi dengan teknik kultur jaringan tanaman memberikan korelasi positif. Elisitor dalam hal ini merupakan serangan atau pemacu yang dapat meningkatkan metabolit sekunder yaitu dengan cara perlukaan baik secara endogen maupun eksogen. Misalnya pada perlukaan secara endogen yaitu keluarnya asam jasmonic sehingga selnya merespon bahwa telah terjadi luka, kemudian sel tersebut mengeluarkan pertahanan dirinya yang disebut fitoaleksin. Pada perlukaan secara eksogen, misalnya terjadi infeksi akibat mikroba patogen. Akibatnya dinding sel menjadi rusak lalu ada mekanisme dari fitoaleksin untuk meregenerasi sel-sel yang rusak tersebut.
Metode elisitasi digunakan saat kita ingin memproduksi metabolit sekunder yang menghasilkan fitoaleksin dan enzim spesifik penghasil metabolit sekunder serta medium paling tepat sudah diketahui agar berhasil meningkatkan produksi metabolit sekunder. Serta menghasilkan biomassa dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat yang jika secara konvensional tidak bisa dilakukan.
Elisitasi memiliki banyak keuntungan diantaranya merangsang tanaman untuk memproduksi fitoaleksin untuk pertahanan dirinya, dapat memproduksi metabolit sekunder dalam skala besar yang relatif singkat, dapat menginduksi sintesis dan aktivitas enzim, serta ada peningkatan secara nyata bagi senyawa yang diharapkan. Sedangkan kerugian elisitasi adalah tidak semua metabolit sekunder yang dihasilkan berupa fitoaleksin sehingga dapat mengganggu peningkatan produksi metabolit sekunder. Selain itu, karena pemberian elisitor yang menyebabkan luka sehingga nutrisi yang terdapat dalam tanaman digunakan untuk menutupi luka, akibatnya tidak ada nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan sel. serta jika penambahan elisitor terlalu banyak, justru akan mengurangi pertumbuhan sel, hal itu disebabkan adanya pengaruh feedback inhibition.


DAFTAR PUSTAKA

Aprianita, 1999, Pengaruh Pemberian Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp. Terhadap kandungan Ajmalisin dalam Kultur Kalus Berakar C. roseus (L) G. Don. Tesis Magister, Jurusan Biologi, Institut Teknologi Bandung. Cosmo, F. and M. Misawa, 1995, Plant cell and tissue culture : Alternatives for metabolites production, Biotechnology Advances, 3, 425- 453.

Eilert, U., F. Constable, and W.G.W. Kurz, 1986, Elicitor stimulation of monoterpene indole alkaloid formation in suspension cultures of Catharanthus roseus, J. Plant Phys., 126, 11-22.

Endress, R., 1994, Plant Cell Biotechnology, Springer – Verlag., Berlin.

Fitriani, A., 1988, Pengaruh Pemberian Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp. terhadap Kandungan Ajmalisin dalam Kultur Kalus Catharanthus roseus (L) G. Don. Tesis Magister, Jurusan Biologi, Institut Teknologi Bandung.

Funk, C., K. Gugler and P. Brodelius, 1987, Increased secondary product formation in plant cell suspension cultures after treatment with a yeast carbohydrate preparation (elicitor), J. Phytochem., 26:2, 401-405.

George, E. F. and P. H. Sherrington, 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Eastern Press Exegetic Ltd., England.

Hashimoto, T. and Y. Yamada, 1994, Alkaloid biogenesis: molecular aspect, J. Plant Mol. Biol.,
45, 257-285.

biotransformasi 2

Menurut Dixon 1985 dalam Wulandari 2000, boitransformasi adalah teknik pemakain enzim dalam sel tanaman untuk mengubah gugus fungsional dari komponeen kimia luar yang ditambahkan dan biasanya digunakan dalam banyak kasus untuk meningkatkan aktifitas biologik dari sturktur kimia dan biasanya meliputi aksi dari satu atau beberapa enzim berturutan untuk membentuk reaksi kimia khusus, sedangkan menurut Yeoman et al 1990 dalam Wulandari 2000, biotransformasi adalah perubahan sustrat melaui kultur hidup, sel permebilitas, enzim yang diperangkap menjadi produk yang berbeda secara kimiawi. Biotransformasi melaui kultur jaringan tanaman dapat dilakukan dengan kalutur kalus, kultur suspensi selm kultur sel amobil atau sintem sel bebas (Wulandari, 2000).
Ada beberapa syarat agar biotansformasi berhasil, adalah (1) kultur harus mempunyai enzim utama untuk mengubah dari prekusor ke produk, (2) produk harus dibentuk lebih cepat untuk menghindari dimetabolisme lebih lanjut, dan (3) kalutur harus toleransi dengan sustrat yang ditambahkan juga produk yang dihasilkan.
Biotranformasi dapat dikatalis dengan biokatalis seperti sel (yeast, fungi dan bakteri), enzim (lipase), jaringan tumbuhan dan jaringan hewan. Biotransformasi dengan kultur sel tanaman dapat menjadi suatu cara untuk mendapatkan senyawa organik dalam jumlah banyak. Tipe-tipe reaksi yang menggunakan kultur sel tanaman sebagai katalisator antara lain oksidasi, isomerasi, hidrolisis, dan glikosilasi. Transformasi sel dapat dilakukan secara biologi sehingga dapat dihasilkan senyawa metabolik sekunder yang diharapkan ataupun memproduksi senyawa biomaterial yang baru (Syahrani,2004). Selain itu, biotransforamsi merupakan salah satu sarana untuk memodifikasi struktur senyawa obat agar diperoleh aktivitas terapi yang lebih baik (Surodjo, 2008) juga mampu melakukan sintesis terhadap senyawa-senyawa kimia sebagai substrat eksogen yang dimasukkan ke dalam kultur dengan reaksi-reaksi tertentu sebagaimana transformasi yang biasa dilakukan secara kimia. (Syahrani,2004). Namun, teknik biotransformasi ini sulit dan rumit untuk dilakukan dan peralatan yang dibutuhkan cukup mahal.
Biotransformasi memerlukan biokatalis untuk terlibat pada proses difusi substat dari ekstraselular ke permukaan sel, pengankgutan antar membran, konversi didalam intraselular dan mengangkut hasil produk keluar dari sel. Pada umunya sistem tersebut aktif di lingkungan berair. Namun substrat dan produk bersifat hidropobik, dimana mereka memiliki daya larut yang rendah pada lingkungan berair. Oleh karena itu, para peneliti memberikan perhatian pada sistem biotransformasi alternatif, seperti two-phase organic system, packed bed reaktor, membrabe type reaktor, immbobilization dan gas phase biotransformation (Uzir et all, 2008).
Untuk senyawa eksogen bagi tanaman, profil produk biotransformasinya sangat tergantung pada struktur dan lingkungan gugus fungsi pada molekul senyawa tersebut. Biotransformasi dengan kultur sel tanaman bersifat enzimatis sehingga reaksinya selektif dan spesifik. Hal ini terkait dengan struktur kiral dari protein enzim, dengan demikian produk biotransformasinya bersifat stereo spesifik dan regio/enantio selektif (Syahrani,2004).
Salah satu contoh penggunaan teknik biotransformasi yang telah dilakukan adalah biotransformasi thymol, carvacrol, dan eugenol oleh kultur sel tanaman Eucalyptus perriniana. Kultur sel Eucalyptus perriniana dapat mengkonversi kandungan seperti thymol, carvacrol, dan eugenol menjadi β-glucosides dan β-gentiobiosides yang terakumulasi dalam sel. Glikosilasi oleh sel tanaman merupakan detoksifikasi dari komponen fenolik toksik yang timbul akibat metabolisme sel normal atau lingkungan sekitarnya (Shimoda, 2006).
Glikosilasi dapat mengubah senyawa yang tidak larut di dalam air dan struktur organic yang tidak stabil tadi menjadi senyawa yang larut di dalam air dan stabil dan menaikkan kemampuan farmakologinya. Glikosida dari Timol, carvacrol dan eugenol dimana susunan utamanya adalah aromatic yang menarik secara farmakologi dan sering digunakan sebagai bahan tambahan di makanan dan kosmetik. Senyawa tersebut juga dalam jumlah yang sedikit dapat digunakan untuk mensintetis senyawa glikosida seperti β-glukosida dari jalur glukosilasi (Shimoda, 2006).
Langkah yang dilakukan adalah dengan memanipulasi kultur sel. Manipulasi yang dilakukan adalah perlakuan stres pada kultur sel Eucalyptus Perriniana dengan menambahkan senyawa aromatik eugenol, thymol dan carvacrol pada kultur sel Eucalyptus Perriniana. Pemberian enzim glukosiltransferase sebagai katalisator untuk mensubtitusi gugus glukosa. Pemberian senyawa aromatik eugenol, thymol dan carvacrol pada kultur sel Eucalyptus Perriniana yang berlebih direspon oleh sel sebagai racun kemudian sel memproduksi glukopiranosil untuk menyerang gugus hidroksi senyawa tersebut dengan bantuan enzim glukosiltransferase. Selain itu perlakuan yang diberikan ada kultur sel adalah dengan perlakuan
gelap dan pada kultur protoplas masih mengandung klorofil (Shimoda, 2006).
Ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi akumulasi metabolit sekunder yang dihasilkan pada sel kultur dari proses biotransformasi, yaitu (1) cahaya, (2) temperature, (3) proses shaker, dan (4) pH.
Contoh lainnya adalah pembuatan obat antitumor yang harganya sangat mahal yaitu vinblastin. Perusahaan Allelix Inc. di Kanada menggunakan metode biotransformasi dalam produksi vinblastin dari catharantine dan vindolin. Hasil yang didapat dari penerapan metode tersebut ternyata sangat baik. Karena itu biotransformasi seringkali dianggap sebagai salah satu dari beberapa metode dalam kultur jaringan tanaman yang paling menjanjikan dan cukup realistis untuk dikembangkan. Namun, mahalnya harga substrat yang diperlukan dalam proses biotransformasi masih menjadi kendala pengembangan metode tersebut.
Selain dapat dilakukan pada bahan alam, biotransformasi juga dapat dilakukan pada obat sintetis seperti asam mefenamat. Menurut Surojo (2008), kultur suspensi sel Solanum mammosum dapat melakukan biotransforamsi terhadap asam mefenamat dan manghasilkan konjugasi glukosil. Senyawa baru hasil konjugasi glukosil dengan asam mefenamat tersebut memperlihatkan bahwa proses biotransformasi sangat potensial untuk mendapatkan senyawa turunan asam mefenamat yang larut air.

Daftar Pustaka
Shimoda, Kei, Yoko Kondo, Tomohisa Nishida, Hatsuyuku Hamada, Nobuyoshi Makajima, Horoki Hamada, 2006, Biotransformation of Tymol, Carvacrol, adn Eugenol by Cultured Cells of Eucalyptus perriniana, Journal
Syahrani, Achmad, 2004, Produksi Biomaterial Baru secara Biotransformasi dengan Kultur Suspensi Sel Tanaman, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Airlangga
Surodjo, Suzana, 2008, Biotransforamsi Asam Mefenamat dengan Kultur Suspensi Sel Solanum mammosum L, ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Uzir, Hekarl, Mashitah Mat Don, Aimi Aishah Ariffin, 2008, Production of Citronellol as an Articial Flavour Using Whole Cell Saccaromyces cerevisiae: Design of a Continuous Closed-Gas-Loop Bioreactor for Biotransformation (CCGLBB), Laporan Akhir Projek Penyelidikan Jangka Pendek, Universiti Sains Malaysia
Wulandari, Erna Tri, 2000, Potensi Kultur Suspensi Sel Kemangi (Ocimum americanum L) Untuk Biotransformasi Flavonoid, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

biotransformasi

I. Pendahuluan
Mikroorganisme menggunakan enzim untuk memecah dan mensintesis berbagai senyawa , baik untuk pertumbuhan dan reproduksi maupun untuk metabolisme sekunder. Setiap reaksi menggunakan katalisator enzim yang khas dalam satu jalur metabolisme yang kompleks dan terkoordinasi. Reaksi kimia demikian yang dibantu oleh adanya mikroorganisme atau preparat enzimnya disebut biotransformasi.
II. Pengertian Biotransformasi
Biotransformasi adalah suatu teknik yang menggunakan enzim pada suatu sel tanaman untuk mengubah kelompok fungsioinal eksternal suatu senyawa kimia yang telah disediakan. Biotransformasi ini digunakan pada banyak kasus untuk meningkatkan aktivitas biologik dari suatu struktur kimia dan biasanya melibatkan aksi dari salah satu atau beberapa enzim yang digabungkan dalam sequence untuk melakukan suatu reaksi kimia khusus. Dalam suatu sistem seperti metabolisme primer dari sel-sel tumbuhan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menyediakan sebuah mekanisem untuk regernerasi yang sesuai co-enzim / co-factor yang diperlukan untuk mempertahankan katalisis.
Biotransformasi oleh komponen sel tumbuhan dapat diambil 2 bentuk
a. Penggunaan seluruh sel dimana sel-sel tersebut dapat berupa suspensi sel bebas yang lengkap, atau dukungan eksternal dari sel immobil
b. Penggunaan komponen persiapan sel immobil, dimana enzim spesifik yang bersangkutan terisolasi, dimurnikan dan dukungan eksternal sel immobil.
III. Tujuan Biotransformasi
Biotransformasi ini bertujuan untuk menghasilkan senyawa baru yang memiliki efek farmakologi, memiliki stabilitas dari senyawa awalnya. Dihasilkan senyawa baru yang unik aktivitas biologinya. Maka senyawa baru yang dihasilkan tersebut haruslah memiliki harga yang lebih mahal.
Besar potensi biokimia sel tanaman untuk melakukan biotransformasi spesifik di alam atau sintetis substrat untuk menghasilkan zat-zat yang lebih berguna yang mengarah pada beberapa kemungkinan aplikasi. Dalam kasus senyawa sintetis, analog yang intermediet atau produk dari spesies lain yang biasanya tidak tersedia dalam tanaman dapat digunakan sebagai substrat untuk menghasilkan senyawa baru yang unik aktivitas biologis. Intermediet alami dari tanaman juga dapat digunakan untuk menghasilkan senyawa-senyawa dari kegiatan serupa dengan yang diperoleh dari tanaman yang ditanam di ladang.
IV. Kaitan Biotransformasi Dengan Kultur Jaringan Tanaman
Hubungan atau kaitan biotransformasi dengan KJT yaitu dalam menghasilkan senyawa baru tersebut digunakan kultur suspensi sel, serta sel yang digunakan adalah sel tanaman. Dimana kultur suspensi sel ini dipelajari dalam kultur jaringan tanaman.
V. Rancangan Proses Biotransformasi
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam melaksanakan proses biotransformasi adalah menemukan mikroorganisme yang dapat mengkatalisis reaksi yang digunakan dengan hasil yang tinggi. Biasanya perlu skrinning yang luas terhadap kultur murni yang banyak yang bisa didapat dari koleksi kultur umum atau diisolasi dari alam.
Untuk menghindari skrinning yang terlalu luas, lebih dianjurkan untuk memeriksa mikroorganisme yang telah diketahui berperan dalam reaksi yang dikehendaki pada senyawa dengan struktur tertentu. Pada percobaan skrinning, mikroorganisme ditumbuhkan dalam medium yang sesuai dalam botol dan digojog. Senyawa yang akan ditransformasikan ditambahkan selama atau sesudah selesai pertumbuhan. Sesudah inkubasi biomassa dipisahkan dengan pemusingan atau penyaringan ( dalam bentuk kultur suspensi sel) dan filtrat disiapkan untuk analisis.
Reaksi biotransformasi biasanya bersifat stereospesifik, dan melibatkan proses/ reaksi seperti oksidasi, reduksi, hidroksilasi, metilasi, demetilasi, glikosilasi, esterifikasi, epoxidasi, isomerisasi dan saponifikasi. Struktur kimia yang dapat mengalami biotransformasi juga bervariasi, dan dapat dilihat pada struktur aromatik, steroid, kumarin, terpenoid, dan alkaloid.
Sejumlah media basal yang berbeda telah digunakan dalam studi biotransformasi, termasuk Murashige Skoog, Linsmeier and Skoog, Gamborg dan Nitsch and Nitsch. Di kebanyakan kasus, ini memberikan nutrisi untuk pertumbuhan sel sebelum mereka digunakan untuk modifikasi dalam reaksi kimia, meskipun dengan pengecualian konversi oleh sel digitoxin pada Digitalis lanata, mereka tidak memiliki pengaruh pada jalannya reaksi kinetika.
VI. Contoh proses biotransformasi
Biotransformasi dari Glikosida steroid (Digitilis)
Suatu sistem yang baik dan dapat digunakan untuk mengilustrasikan bagaiman proses biotransformasi dapat meningkatkan aktivitas dari senyawa yang dipusatkan dengan konversi dari digitoxin menjadi digoxin oleh sel Digitalis lanata.
Digitoksin dan digoksin merupakan kelompok glikosida steroid yang biasa dikenal dengan ‘cardenolides’ dan digunakan dalam dunia medis untuk pengobatan penyakit jantung kronis. Keduanya menempati peringkat ke 6 dan ke 8 dalam obat-obatan yang sering diresepkan di USA, kemudian menjelaskna pentingnya modifikasi senyawa kimia potensial dari kedua obat tersebut. Komponen dari keduanya merupakan ektraks alami dari tanaman.. Situasi ini telah menyebabkan kekurangan digoxin, senyawa aktivitas farmakologis unggulan, sementara mengakibatkan semakin meningkat tumpukan digitoxin lebih beracun. Transformasi digitoksin dengan suatu β-12 hidroksilasi reaksi, dipengaruhi oleh enzim yang terletak di sel-sel D.lanata, telah dirintis oleh Alfermann dan Rheinharrd di Republik Federal Jerman, dan telah melibatkan teknik menggunakan suspensi sel, dan seluruh sel amobil. Dilakukan dalam 250 ml Erlenmeyer termos, sebagian besar pekerjaan telah selesai dilakukan dengan menggunakan pipa aliran udara reaktor memiliki volume kerja 20 liter. Sistem ini yang dikenal untuk memberikan agitasi lembut sensitif suspensi sel tumbuhan, tanpa menyebabkan kerusakan serius akibat stres fisik.Dalam praktek, derivat digitoxin yaitu β-methyl digitoxin digunakan sebagai substrat dalam proses, karena dia mampu memberikan transformasi stereospesifik dengan sedikit produk samping.
Sebagai panduan mengikuti eksperimen Alfermann,dkk.
1. Penumbuhan sel Digitalis lanata selama 5 hari dalam media MS (dengan 2%b/v glukosa sebagai sumber karbon) dalam 20 liter dengan suhu 24oC dalam alat fermentor. Alat diset dengan densitas sel dalam reaksi 0,8 gram berat kering sel per liter dan kecepatan ventilasi 350 udara per jam, juga diatur pH nya yaitu 5-6. Biomassa maksimum dari eksperimen ini adalah 10 g berat kering/liter.
2. Setelah 5 hari, siapkan larutan β-methyl digitoxin dalam metanol (10 ml, 40mg/ml) dan diinjeksikan dalam reaksi, diulangi tiap 2x/hari. Dengan kondisi tersebut β-methyl digoxin yang akan diproduksi sel adalah 475mg/l setealah 14 hari, juga diperoleh hasil sampingan berupa glukosida purpurea A dan deasetil lanatosida C.
3. Pemisahan komponen dari sampel hasil kultur fermentasi dengan ekstraksi sel dan cairannya menggunakan asetonitril kemudian di HPLC.
Contoh lain, yaitu digunakannya KSS dari sel Eucalyptus perriniana kemudian dibuat sel amobil. Dimana nantinya sel tersebut mampu mengglikosilasi senyawa thymol,carvacrol,dan eugenol menjadi bentuk glikosida.
VII. Keuntungan Dan Kekurangan Biotransformasi
Keuntungan yaitu: dihasilkan senyawa baru, dimana senyawa tersebut tidak mungkin dihasilkan dalam proses yang normal, didapatkan senyawa baru yang unik aktivitas biologinya, punya efek farmakologi, senyawa baru yang dihasilkan memiliki harga yang lebih tinggi (mahal), dan senyawa yang lebih baik dari senyawa awalnya, baik dlam hal stabilitasnya, kelarutan ,dll.
Kekurangannya yaitu: biayanya mahal, prosesnya / tahapannya susah (rumit), dan untuk dapat berhasil diperlukan percobaan- percobaan, tidak serta merta langsung berhasil.

tablet effervescent

Definisi
Tablet Effervescent adalah tablet yg penggunaannya didispersikan dalam air.
Tablet effervescent adalah salah satu jenis tablet yang mengandung sumber asam dan basa, digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam air terlebih dahulu (saiful).

Bila tablet effervescent dimasukkan ke dalam air, akan terjadi reaksi kimia antara sumber asam dan sumber basa sehingga menghasilkan gas. Reaksinya berjalan cukup cepat, bisa kurang dari satu menit. Disamping menghasilkan larutan yang jernih, tablet juga memberikan rasa yang enak karena adanya gas karbondioksida yang membantu memperbaiki rasa.

Keuntungan
1. Rasa menyenangkan, ditambah adanya gas akan memberi rasa menyegarkan
2. Bioavailabilitas lebih baik dibanding tablet biasa
3. Dapat digunakan untuk anak-anak atau orang yang sukar menelan tablet utuh
4. Mudah digunakan

Kerugian
1. Biaya produksi lebih mahal
2. Penanganan produk lebih sulit
3. Stabilitasnya lebih jelek

Aplikasi ?
1. Untuk obat
2. Untuk multivitamin
3. Untuk beverage
4. Dental (biasanya berisi enzim)
5. Contact lens cleaners
6. Untuk veterinary

Jogja, 05 Okt 2009

Raw Materials
Persyaratan raw materials :
1. Dalam bentuk anhidros  cz da air maka akan tjd reaksi asam basa. Reaksi asam basa tdk akan membentuk effervescent
2. Tidak atau sedikit menyerap lembab
3. Boleh hidros tapi dalam bentuk ikatan yang stabil (stable hydrate)

Bahan tablet effervescent :
1. Zat aktif
2. Acid sources Lihat Ansel
Food acids (citric acid, tartaric acid, malic acid, fumaric acid, adipic and succinic acids, acid anhydrides)
Acid salts (sodium dihydrogen phosphate, acid citrate salts, sodium acid sulfite)

3. Sumber basa
4. Flavour
5. Pengisi harus larut
6. Pelicin  harus larut

Carbonate sources
Sodium bicarbonate, sodium carbonate, Potassium bicarbonate and Potassium carbonate, sodium sesquicarbonate, sodium glycine carbonate, L-Lysine carbonate, arginine carbonate, amorphous calcium carbonate.

Other effervescent sources
- Binder and granulating agents
- Diluents
- Lubricants
- Flavoring, coloring, and sweetening

Binder and granulating agents  tergantung metode
Fungsi ?
*Serbuk gak bisa dibikin tablet.
Pengikat seperti gom alam, gelatin dan pasta amilum tidak/jarang digunakan. Amilum gak larut dalam air cz bentuknya kompak. Amilum larut jk dipanaskan, yg larut => amilosa, yg gak larut => amilopektin.
Yang banyak digunakan bersifat hidrofilik yaitu PVP & PEG dalam pelarut alkohol, air boleh tapi jumlah harus kecil
*Bersifat hidrofilik & daya ikatnya tinggi
*Sifat alirnya jelek  gaya kohesi & adhesi
*Starlac  modiikasi dari starch (amilum & laktosa). Pati jarang dipake cz Lengket jk kena air.

Diluents/pengisi/filler
Fungsi : memperbesar bobot
Pengisi :
a. Hidrofobik  jarang dipake, biasanya utk tablet lepas lambat
b. Hidrofilik  larut & gak larut
Kelarutan: utk effervescent harus larut
ukuran partikel ?
Kompresibilitas  harus kompresible
Sodium bicarbonate banyak digunakan dan murah, sodium chloride, sodium sulfate,

Lubricants
Fungsi : digunakan utk yg bersifat hidrofob.
Pengaruh lubrikan pada disintegrasi dan sifat larutan yang dihasilkan ? Berbuih/berbusa/jernih ?
Lubrikan hidrofobik ?
Lubrikan hidrofilik ?
Lubrikan yang larut dalam air ?
*Zat pelicin ditambahkan sesaat sebelum masuk hopper
Sodium benzoate, dan PEG 8000 (micronized) BM-nya tinggi, makin padat shg banyak digunakan
Contoh lain: sodium stearate, sodium oleate, pvp, sodium acetat, succcinic acid, dan adipic acid.

Processing
With Heat
With nonreactive liquids
With reactive liquids
Dry Granulation
Fluidized Bed Granulation
Pretableting Operations
Tableting
1. Special conditions
Suhu & kelembaban harus terkontrol. Low relative humidity (< 25 % atau 40 %)
Moderate-to-cool temperature (25 C atau kurang)
Problem: melekat &stabilitas
2.Equipment
Sama seperti pada produksi tablet pada umumnya
Tergantung pada metode yang digunakan
Secara umum: mikser, granulator, mesin tablet.
3.Wet Granulation
Prinsip dasarnya sama seperti pada granulasi basah pada umumnya
Bahan pengikat yang ditambahkan dalam jumlah yang sangat kecil (0,1-0,5 %)
Pengaruh ke daya hancur/melarut ?
Pengaruh pada stabilitas effervescent ?
a. With Heat  Ansel
Metode klasik untuk formulasi efervescen
Biasanya menggunakan asam citrat hidrous dengan kadar air 8,5 %
Metode ini sangat sulit dalam mengotrol reproduksibilitas hasil
Lebih baik hasilnya bila menggunakan high-speed mixing
b. With nonreactive liquids
Metode yang paling banyak digunakan
Sama seperti proses granulasi pada umumnya
Cairan penggranul yg biasa digunakan; etanol atau isopropanol
Contoh pengikat PVP
Cara: Berupa larutan bahan pengikat atau serbuk kering baru tambah cairan
*Pengikat :
-Serbuk
-Serbuk + cairan : larutan/suspensi dan serbuk+ cair

c. With reactive liquids
Air yang digunakan 0,1-0,5 %, alasan ?
Cara?

Dry granulation
Menggunakan mesin tablet (slugging), roller compactor/ chilsonator
Cara ?

Fluidized bed granulation
Campuran kering dari serbuk bagian asam dan karbonat dicampurkan dalam ruangan berudara panas, dan dicampur homogen
Sejumlah kecil bahan pengikat (biasanya air) dispraykan dalam ruangan panas.
Air akan bersentuhan dengan serbuk sesaat sebelum kembali menguap
Massa granul yang terbentuk selanjutnya dikeringkan

Pretableting operation
Partikel size distribution?
Sifat alir ?
Kompresibilitas ?
Kadar air granul ?
Homogenitas campuran ?

Tableting
Bobot tablet ?
Ketebalan tablet ?
Kekerasan tablet ?
Kecacatan tablet ?

Kontrol kualitas ?
Disintegrasi ?
Kelarutan ?
Kekerasan ?
Kerapuhan ?
Keseragaman bobot
Keseragaman kadar ?
pH larutan ?
Penandaan serta tampilan fisik ?

Pengemasan
Bahan pengemas ?
Bentuk kemasan ?

kapsul lunak

DEFINISI :
Kapsul lunak/Soft, elastic gelatin capsules (SEGs) adalah suatu sediaan yang terdiri dari satu bagian yang utuh (one-piece), tertutup rapat, yang dapat mengandung cairan/larutan, suspensi atau semi padat.
Oleh SGA (softgel Association) diberi nama softgel yaitu sediaan yaang terdiri dari “one-piece”, tertutup rapat, cangkang gelatin lunak berisi obat dalam bentuk larutan atau semi padat yang telah diformulasikan, dimasukkan kedalam cangkang dan ditutup dalam suatu proses yang kontinyu. Hal iniu ntuk membedakan dengan two-piece hard shell capsules.
Proses untuk memproduksi kapsul lunak merupakan suatu proses yang unik. Tidak semua perusahaan yang mampu memproduksi tablet dan kapsul dapat memproduksinya (faktor ekonomis, hak paten dan faktor teknis).
Kapsul lunak dibagi berdasar polimernya pembentuk cangkang :
a. Gelatin/softgel
b. Non gelatin / soft capsule

Gelatin-free soft capsulevegetarian
 Chewable Softgel
-bisa dikunyah
-utk anak-anak (paediatric)
-dihisap scr pelan-pelan (swallow)
 Soflet® Gelcaps
-swallownya lbh mudah dr chewable
-menutupi rasa
 Enteric Softgel
-gak dicoat Lagi, gelnya sendiri udah tahan sama asam lambung
-gelatin ditambahkan material yg hancur di usus (enteric coated)
-buad obat-obat yg gak stabil di lambung, mengiritasi lambung, targetna di usus halus,
-Banner’s enteric softgel gelatin gak campur material enteric coatedjd cangkang gak hancur di lambung pi hancur di usus
 Candidated for enteric delivery
-dlm polimerna udah ditambah enteric coated, jd gak perlu cangkang baru coz formula polymer itu jadi cangkangnya.
-menyebabkan belching (sendawa), ketidaknyamanan lain pada lambung
 Controlled Release Softgel
-dicampur matriks yg bersifat hidrofob
-dlm bentuk emulsi/suspensi kapsul lunak
-suspensi dispersi padatan dlm cairan (gas juga bisa)
Kesimpulan :
 Cangkanng harus kompatible dg isi
 Bahan tambahan harus sesuai dg monografi
 Eksipien aman dan toksik, cont : cemaran logam berat
APLIKASI
• Kapsul gelatin lunak dapat diproduksi dalam berbagai ukuran, bentuk dan warna.
• Dalam bidang Farmasi kapsul lunak digunakan untuk :
– Sebagai bentuk sediaan oral (manusia dan hewan)
– Sebagai bentuk sediaan supositoria (rektal/vaginal).
– Sebagai kemasan khusus berbentuk tube untuk penerapan takaran tunggal salep kulit, salep mata, tetes telinga atau salep rektal untuk manusia atau hewan
– Untuk obat yang dikehendaki hancur di usus
– Untuk Chewable misal antasida, obat batuk dan vitamin
– Kosmetik

KOMPOSISI DAN SIFAT CANGKANG KAPSUL LUNAK
• Sama seperti cangkang kapsul keras, komponen dasar kapsul lunak adalah gelatin. Bahan lain : Air, Plasticizer, Opacifier, Flavor, Swectener, dan Enteric agent.
• Persyaratan untuk gelatin tercantum dalam Monografi
• Persyaratan tambahan tergantung pada pabrik pembuat.

KEKUATAN BLOOM ATAU KEKUATAN GEL
• Yaitu: suatu ukuran dari kekuatan kohesi ikatan silang yang terjadi antara molekul-molekul gelatin, dan sebanding dengan bobot molekul gelatin.

• Angka bloom ditentukan dengan mengukur berat (gram) yang diperlukan suatu pelampung plastik yang diameternya 0,5 inci 4 mm ke dalam gel gelatin 6 2/3 % yang telah didiamkan pada 10 0 C selama 17 jam. Biasanya 100-250 gram tergantung pabrik

• Makin tinggi kekuatan bloom, makin tinggi pula stabilitas fisika dari cangkang.

• Harga gelatin berbanding lurus dengan kekuatan bloom atau kekuatan gelnya faktor penting dalam pertimbangan biaya

VISKOSITAS
Ditentukan pada konsentrasi gelatin 6 2/3 % dalam air pada suhu 60 0 C mempunyai viskositas 25- 45 milipoise.

BESI
Kadar besi dalam gelatin yang digunakan untuk kapsul lunak tidak boleh lebih dari 15 ppm.

PLASTICIZER (pelentur)

Contoh : Gliserin, Sorbitol dan PEG.
a. Perbandingan antara gelatin kering dan Plasticizer kering akan menentukan kekerasan cangkang.
0,3-1,0 Cangkang sangat keras
1,0-1,8 sangat lunak

b. Perbandingan antara air terhadap Plasticizer juga perlu diperhatikan. Biasanya perbandingannya mendekati 1 banding 1.

BAHAN TAMBAHAN LAIN
 Preservatif : Metil/propil paraben (0,2 %)
 Opacifier : Titanium dioksida (0,2-1,2 %)
 Flavor : Etil vanilin, minyak atsiri (0,1 %)
 Zat warna: zat warna yang larut, zat warna lak (qs)
 Swectener: Gula/sukrosa (sampai 5 %), xylitol, stevia

MATERIAL PENGISI
• Kapsul lunak dapat berisi 1 macam larutan/kombinasi, larutan obat dalam suatu pelarut, dan suspensi, bentuk semi padat dan padat.

Pelarut/pembawa
Ada 2 katagori dasar material yang dapat digunakan sebagai pembawa untuk kapsul gelatin lunak :
1. Water-immiscible, volatile, or more likely nonvolatile liguids, such as vegetable oils, aromatik and alifatic hidrocarbons (mineral oil), medium-chain triglycerides, and acetylated glycerides
2. Water-miscible, non volatile liguids, such as low molekular weight PEG (PEG 400 and 600) and nonionic surface-active agent such as polysorbates

• Yang tidak boleh diisikan adalah cairan yang bersifat saling campur dengan air dan mudah menguap, dan Plasticizer.
• Air dan alkohol dengan kadar < 5 % dari isi kapsul masih dapat digunakan sebagai pelarut tambahan
• Gliserin dan PEG sampai kadar 10 % masih dapat digunakan sebagai pelarut tambahan

DETERMINASI UKURAN
• Material yang berbentuk cairan ukuran langsung di hitung berdasarkan densitas
• Material yang tidak mudah mengalir “nonflowable material” (viscous liguid,semisolid, or solid) dihitung dengan menggunakan angka adsorpsi basis. Adsorpsi basis dinyatakan sebagai jumlah gram basis cairan untuk mendapatkan suatu campuran yang bisa dikapsulkan jika dicampurkan dengan 1 gram zat padat.

kapsul

DEFINISI
• Bentuk sediaan obat terbungkus cangkang kapsul, keras atau lunak.
• Cangkang terbuat dari gelatin dengan atau tanpa zat tambahan lain (FI)
• Sediaan padat, dimana suatu obat/formula obat dimasukkan ke dalam cangkang gelatin

SEJARAH PENEMUAN DAN PERKEMBANGAN

OBAT PAHIT/BAU Bahan Alam



KAPSUL/SALUT

PELEPASAN KHUSUS
Obat dr bahan alam kebanyakan mempunyai rasa pahit dan bau yg kurang menyenangkan maka utk mengatasi hal itu diambil cara pengkapsulan dan penyalutan.
Bahan alam  kondisinya berupa cairan -> soft capsulle -> lbh hemat & menarik. Misalnya kina yg pahit dan bau.
Kapsul salut  menambahkan material yg resisten thd asam lambung.
Pelepasan khusus  g’ terdegradasi dlm lambung
a. Tablet salut enterik -> gak larut di lambung -> lbh boros (proses 2x) -> pembuatan tablet -> penyalutan
b. Kapsul dg cangkang yg tahan thd asam lambung -> lbh hemat









• Tahun 1834 : F.A.B. Mothes dan DuBlanc menemukan Kapsul gelatin 1 bagian (dipatenkan 1834) bertahan 1830an- 1870an
1 bagian artinya cangkangnya hanya “body”’nya saja sedangkan capnya berupa gelatin pekat yg dioleskan stlh obat formula dimasukkan ke body.
• Tahun 1839 : Barot Mengembangkan penyalutan film I yaitu : pill disalut dengan gelatin
• Tahun 1846 : J.C.Lehuby paten kapsul 2 bagian spt. Sekarang
• Tahun 1874 : A. Taetz + Glicerin dalam Formulasi lunak dan mudah ditelan
• Tahun 1874 : F. Hubel merintis Industri pembuat kapsul I
• Tahun 1897 : Eli Lilly
• Tahun 1901 : Parke Davis
• Tahun 1960an-1970an : Berkembang diseluruh dunia
• Tahun 1960an : di Eropa berkembang kapsul gelatin lunak (softgell)


Alasan/Tujuan pengkapsulan:
- menutupi bau/rasa
- memberi perlindungan terhadap isi kapsul (kelembaban, cahaya, udara)
- Tujuan khusus (pelepasan khusus). Contohnya kapsul dg komponen yg berbeda-beda, biasanya pake warna yg menarik.

 Cangkang kapsul yg bagus adl yg transparan & didalamnya berwarna-warni. Kalo yg berwarna itu bahannya sama berarti granul tiap warna salutnya berbeda-beda.
 Sebenarnya dg penyalutan & pengkapsulan didapat manfaat al:
1. Dpt melindungi bhn obat/zat aktif dr enzim dan keasaman lambung jk zat aktifnya gak tahan enzim dan asam lambung.
2. Dapat dilakukan “Long acting” artinya durasi obat dpt diperpanjang misal suatu tablet.

KEUNTUNGAN
a. Di dalam kapsul terdapat ukuran yang tepat dari dosis lazim. Hal ini mengurangi kemungkinan hiangnya sejumlah zat aktif saat proses pembuatannya seperti di pentabletan.
b. Biasanya dan diasumsikan mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan tablet.
c. Lebih mudah dan fleksibel dalam memformulasikan dibandingkan tablet
d. Pemakaian mudah dan mudah dibawa
e. Dapat dibuat produk dengan profil pelepasan khusus
f. Biaya produksi relatif lebih murah dibandingkan tablet


KERUGIAN
1. Biaya Produksi relatif lebih mahal dibandingkan tablet
2. Proses pengisian lebih lambat dibandingkan mesin tablet (mesin orientasi dimasukkan duLu baru ditutup cangkangnya)
3. Tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang sangat mudah larut (higroskopis  cangkang stabil)
4. Tidak bisa untuk obat dengan dosis besar cz diperlukan cangkang besar yg gak acceptable dg pasien (manusia)
5. Tidak dapat untuk bahan-bahan yang mudah mencair dan mudah menguap
**Untuk no.3 & 5 pada prinsipnya gak dpt untuk bahan-bahan yg punya sifat dapat menyebabkan melembabnya gelatin pada cangkang gelatin yg lembab akan lengket & mudah hancur.

UKURAN DAN KAPASITAS KAPSUL
• Ukuran kapsul untuk manusia : 000 s/d 5, pi lazimnya 0 s/d 5  kapasitas ?
Selain itu ada ukuran 0e/0el (el = elongated/lebih panjang/lebih besar dari)
 Oel diameter sama dengan ) Cuma lebih panjang sedangkan 1el diameternya sama dengan 1 cuma lebih panjang.
• Untuk hewan kapsulnya berukuran no. 10,11 dan 12 dengan kapasitas 30,15 g dan 7,5 g

Berat serbuk yang dapat masuk/dimuati hanya perkiraan, tergantung pada:
1. Berat jenis/densitas massa serbuk (>>> bj >>> serbuk masuk)
2. Tipe peralatan yang digunakan pada pengisian, syaratnya al: sifat alir, tapping
3. Tekanan pada saat pengisian
4. Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. *Kalo partikel >>>  banyak rongga
*Kalo partikel <<<  bz gak terisi dg baik. Distribusi normal akan lebih baik sebab ruang-ruang kosong lebih kecil. Kalau ukuran lebih besar semua berat yg didapat sedikit, sedangkan ukuran kecil lebih baik cuma dilihat dan fluiditasnya mempengaruhi keseragaman bobotnya. PEMBUATAN CANGKANG KAPSUL RAW MATERIAL/SHELL COMPOSITION  Raw material : eksipien & zat aktif  Raw material diakhir produk bisa saja gak ada, misal air. a. GELATIN • Diperoleh dari ekstraksi hidrolisis collagen hewan (tulang, Kulit, urat). Sumber utama Tulang hewan dan kulit babi. • Sifat kimia dan fisika tergantung pada : asal kolagen, metode ekstraksi, nilai pH, degradasi termal dan kandungan elektrolit. Dikenal 2 macam tipe gelatin : a. Gelatin Tipe A (titik isoelektriknya pH 7,0-9,0) Diperoleh dengan hidrolisis asam (kulit babi) =>lentur dan bening
b. Gelatin Tipe B (titik isoelektriknya pH 4,8-5,0)
Diperoleh dengan hidrolisis basa (tulang hewan) => tipis, keras, keruh dan rapuh
^^Campuran Tipe A dan B bisa mengurangi kerapuhan, menambah kelenturan dan mengurangi kekeruhan.


• Viskositas larutan gelatin merupakan faktor yang vital untuk mengontrol ketebalan lapisan film. Viskositas diukur dengan standar 6,2/3 % memberikan viskositas 30-60 mP(miliPoise)
*Kalo makin tebel mlah gak bagus yg bagus agak tipis & lentur.
b. PEWARNA(COLORANTS)
Diperlukan untuk identifikasi produk dan daya tarik. Cara pewarnaannya dengan menambahkan pada larutan gelatin pada saat proses pembuatan kapsul berlangsung.

Ada 2 tipe :
a. Zat warna pigment
Zat warna yang tidak larut, memberikan warna dengan merefleksikan cahaya dari permukaannya. Bentuk dan ukuran partikel merupakan parameter yang penting karena refleksi cahaya berasal dari permukaan partikel.
contoh: Iron oxide (black, red, yellow).
b. Zat warna larut dalam air
contoh: Tartrazine, indigo Carmine dll. Ini tuh termasuk zat warna sintetik.

c. OPAGUING AGENTS
Untuk memproteksi cahaya atau melindungi isi kapsul, biasanya digunakan Titanium dioksida.

d. PRESERVATIVES
Adalah untuk pengawet. Biasanya digunakan Paraben

e. AIR
Sebagai pelarut, dengan kadar gelatin 30-40% b/b


PEMBUATAN CANGKANG/SHELL MANUFACTURE
1. Pencelupan/Dipping
Pasangan paku/“pins” stainless steel dicelupkan ke dalam larutan untuk menghasilkan “Cap” dan “Body”. Paku-paku sebelumnya di beri lubrikan dan didinginkan pada suhu 220C, sedangkan suhu larutan gelatin 500C. Lama pencelupan 12 detik (tergantung panjang Kapsul). *Makin lama makin tebel, makin cepet, makin tipis.

2. Pemutaran/Rotation
Setelah dicelupkan, paku-paku di tarik dari larutan dan diputar-putar beberapa kali. Tujuan pemutaran adalah menghomogenkan dan mencegah bintik-bintik. Kemudian dikeringkan dengan udara dingin & kering..

3. Pengeringan /Drying
Paku-paku yang telah tersalut dilewatkan oven-oven pengering (dengan pengkondisian udara dan suhu pengeringan)  kondisi panas & RH diturunkan, kalo lembut cangkang mlenyet.

4. Pelepasan/Stripping
Dengan menggunakan penjepit dari perunggu/tembaga untuk menarik badan dan penutup kapsul dari paku-paku cetakan.

5. Pemotongan/Trimming
Bertujuan untuk menghasilkan kapsul yang sama panjang dan rata

6. Penggabungan/Joining
Penggabungan antara body dan kapsul.

7. PENYORTIRAN/SORTING
• Moisture content (kandungan air) dari kapsul yang keluar dari mesin dipersyaratkan 15-18 % b/b pemeriksaan dilakukan sebelum sorting
• Kapsul yang akan disorting dilewatkan lampu, dan dilakukan pengamatan secara visual (pemotongan yang tidak rata, kapsul peot, berlubang, sobek, badan panjang, kotor baik di dalam maupun di luar, ada gelembung, noda).

8. PRINTING
Dilakukan sebelum pengisian dengan mesin. Pencetakan dapat dilakukan baik secara axial maupun radial.




Pertimbangan umum dalam mendesain formula granul/serbuk utk kapsul dan pemilihan eksipient

• Tujuan akhir mendapatkan sediaan kapsul yg: aman, manjur, accaptable dan stabil
• Pertimbangan dalam formulasi sed. Kapsul :
1. Fluiditas
Terkait dg sifat alir yg akan mempengaruhi keseragaman bobot dg catatan keseragaman zat aktif pada serbuk terpenuhi
2. Kompaktibilitas  lebih pada alat
Terkait dengan dosing method pada Intermitten Compression Filling dan Continous Compression Filling tetapi gak buad Vacuum Filling.
3. Lubrikasi
Terkait dg peningkatan sifat alir, pengeluaran serbuk dan hoppernya
4. Pelepasan obat/disolusi
Proses disolusi sed.kapsul

Kapsul cangkang mengembang

cangkang pecah
Serbuk/granul/tablet


Disolusi Partikel halus Granul


Absorbsi


BAGAIMANA PENGARUH?????
1. Zat aktif
2. Filler
3. Lubricants
4. Glidants
5. Disintegrants
6. Surfactants
7. Hidrofilisasi

ZAT AKTIF
 mudah larut
 tidak mudah larut?
Untuk zat aktif yg gak mudah larut ini diatasi dg mengecilan ukuran partikel shg fluiditasnya turun dan disolusi/kelarutannya naik. Hal ini dapat dilakukan dg memililh filler yg fluiditasnya baik.


FILLER/DILUENTS, bahan pengisi
Fungsi: meningkatkan bulk, fluiditas dan kompaktibilitas
Filler dibagi :
a.Hidrofilik :
- Larut  belum tentu bhn obat qt cepet larut mlah menganggu bahan obat
- gak Larut
b.Hidrofobik  kelarutan air kecil => gak mudah larut cz gak mudah ditambah air
Cont: laktosa, amilum, avicel(anti air), turunannya, manitol, sorbitol, Ca fosfat
Pertimbangan pemilihan filler :
1. Stabilitas fisika-kimia
2. Pengaruh filler terhadap disolusi
3. Fluiditas
4. kompaktibilitas

Contoh pengaruh filler terhadap kelarutan zat aktif:
 pengaruh laktosa pada kloramfenikol
Sampai kadar 50% => pengaruhnya kecil
Kadar ≥ 80% => kloramfenikol gak larut
 pengaruh amilum jagung pada phenobarbital
Sampai kada 50% maka :
a. akan menurunkan dissolusi Na phenobarbital
b. menaikkan dissolusi bentuk asam bebas
K edua hal di atas juga tergantung dari MC (Minimum Concentration) amilum. T50 artina adl waktu yg diperlukan utk 50% zat terlarut (50:50 PHENOBARBITAL : AMILUM JAGUNG) turun dari 28 menit menjadi 9 menit bila MC meningkat dari 1,2% menjadi 9,9% b/b (t50 phenobarbital sendiri = 25 menit). Apabila MC meningkat menjadi 13,5% maka t50 menjadi 2 kalinya bila dibandingkan dengan obat sendiri (4,9 menit Vs 2,5 menit).


LUBRICANTS, sbg pelicin, umumnya hidrofob
Dibutuhkan untuk memudahkan pengeluaran flugs, mengurangi lapisan film pada piston & pelekatan serbuk pada permukaan logam serta mengurangi friksi antara sliding surface bila kontak ddg serbuk. Terus pengaruh glidants & lubricants pada dissolusi adl harus diperhatikan sifat dari glidants dan lubricants. Kalo sifatnya hidrofob maka harus diperhatikan lama pencampuran jumlahnya. Jangan nyampe menghambat kelarutan zat aktif.
Fungsi :
 melapisi permukaan suatu partikel
 sbg bantalan
 memberikan muatan ttt
 bz mengabsorbsi uap air
 mencegah agar gak lengket


GLIDANTS, umumnya sbg pelicin
Bertujuan utk meningkatkan fluiditas campuran serbuk. Dibeerikan dlm bentuk partikel halus yg kemudian akan melapisi partikel-partikel. Peningkatan fluiditas dg satu/llebih mekanisme yg mungkin :
 memperhalus permukaan partikel yg gak beraturan/gak rata
 mengurangi attractive force dg pemisahan scr fisik dr host particles
 memodifikasi muatan elektrostatis
 berfungsi sbg penyerap kelembaban. Kelembaban akan meningkatkan kohesi & fenomena elektrostatistika.
 Berfungsi sbg bantalan diantara host particles
Contoh: corn starch, tale, Mg stearat, colloidal silicas, talk, aerosil, Na stearat, amilum stearat. Dengan % penambahan < 1%


DISINTEGRANTS, bahan penghancur
Fungsinya untuk membantu kapiler air utk pembasahan serbuk shg mudah larut  disolusi cepet.
Cont: AcDiSol, Primojel, amilum (plg klasik)
Serbuk  granul  ditambah penghancur granul hancur dlm tubuh  disolusinya cepet


SURFACTANT (Surface Active Agents)
Adl reagen yg berada dipermukaan batas 2 zat yg gak bercampur, memiliki 2 gugus yaitu lipofil & hidrofil.
Berfungsi utk meningkatkan pembasahan dr massa serbuk & meningkatkan kelarutan.
Cont: Na Lauril Sulfat, Na Docusate


HIDROFILISASI
Proses peningkatan pembasahan & kelarutan suatu obat yg mempunyai kelarutan rendah dg penambahan polimer yg hidrofilik.
Cont: Metil Selulosa, Hidroksi Etil Selulosa



Jogja, 28 Sept 2009

PENGISIAN KAPSUL KERAS

Kapsul biasanya diisi dengan serbuk yang dapat mengandung 1/lebih zat aktif. Selain itu dapat juga diisi dengan berbagai bentuk yang lain (granul, pellet, tablet, capsul, dan paste) atau dapat juga diisi dengan tablet enteric coated, sugar coated, compression coated, dan sustained release enteric coated pellet. Pengisian bisa berupa campuran antara pellet dan tablet atau lainnya. Biasanya digunakan utk 2 bahan yg gak bisa dicampur secara fisik.

Nie gambarnye,,,


Pada prinsipnya peralatan pengisian mempunyai tahapan proses pengisian kapsul keras
1. Sortasi
2. Rectification, yaitu tahap orientasi kapsul, penyusunan cangkang satu per satu. Body dibawah dan caps di atas.
3. Separation of caps from body pemisahan antara caps dan body.
4. Dosing of fill material, yaitu pengisian formula serbuk ke dlm body.
5. Replacement of caps and ejection of filled capsules

Gambarnya proses pengisisan kapsul keras :



Problem-problem pokok yang terjadi selama proses pengisian kapsul keras
a. Kerusakan kapsul akibat sistem penempatan kapsul (saat ratification)
b. Tidak terjadinya pemisahan antara cap dan body
c. Transfer dari dosage form tidak baik, misal cz fluiditas serbuk kurang baik/gak seragam. Nantinya akan berpengaruh pada bobot & dosis
d. Serbuk/dosage form rusak sebelum pengisian, misal karena tablet geripis, serbuk mengalami dehomogenasi karena getaran shg keseragaman kadar gak tercapai.
e. Cap atau body atau keduanya rusak ketika disatukan
f. Kapsul yang telah diisi rusak ketika dikeluarkan dari mesin, misal lengketnya kapsul satu dg yg laen.
g. Kapsul kosong mungkin terus dikeluarkan dari mesin selama proses pengisian. Hal ini berkaitan dg problem yg nomer 2 diatas..
Semua mesin pengisian otomatis sudah dilengkapi dg alat atau perlengkapan utk mengeliminasi semua problem selama proses pengisian. Jika peralatan baru akan dievaluasi, pemeriksaan thdp problem-problem di atas harus dimasukkan dlm program pengujian.


PERALATAN PENGISIAN KAPSUL KERAS

1. Hand Operated Equipment
Contoh : Feton, ChemiPharm, dan Tevopharm

2. Semi Automatic Machines

Contoh :
Model Capsul sizes filled Output (max.) capsules/hour
Pedini 21B 000-5 2000
LAF Multifill 000-4 5000
Colton 8 000-5 20.000

3. Automatic Machines
Ada 3 macam : tapping (“punch”, fibrasi); dosator (seperti pipet); continous





PENGISIAN KAPSUL KERAS DENGAN SERBUK

1. The Plate Method (fig. 9.3, 9.4, and 9.5)
Mekanismenya :
a. Pemampatan dengan “punch”

b. Pemampatan dg auger food

c. Pemampatan dg fibrasi

2. Intermittent Compression Filling (fig. 9.6)

3. Continuous Compression Filling (fig. 9.8)

4. Vacum Filling

5. Filling capsules by the Drugpack system














PENGISIAN KAPSUL KERAS DENGAN PELLET

• Secara Langsung atau dengan Hopper

• Piston Method

• Double Slide Method

• Piston and Slide Method

• Continuous Method




PENGISIAN KAPSUL KERAS DENGAN TABLET
• Slide Dosage, Method 1

• Slide Dosage, Method 2

• Slide Chamber method

Capsulle DOSAGE Form/Sediaan Kapsul

Sediaan adl sesuatu yg telah dipersiapkan dan telah diformulasikan.
Sediaan kapsul  Kapsul dibagi :
1. Keras, terdiri 2 bagian, kalo ditekan gak keras.
Cara buat: bisa diisi secara manual dan biasanya cangkang kapsul dpt dbeli/ tdk dibuat sendiri. Kapsul ini lbh stabil cz diproduksi dg tujuan single use.
**Berbahaya bila memasukkan obat dr bahan alam scr keseluruhan dg ampasnya, sebaiknya diekstraksi dulu.
2. Lunak, terdiri 1 bagian, lbh kenyal, lunak. Pembuatan kapsul ini lebih sulit dibandingkan kapsul keras cz pembuatannya hrs sekaligus. Digunakan utk anak yg gak suka minum obat, misal vit.A, vit.E, minyak ikan. Stabilitas kapsul lunak lebih jelek daripada kapsul keras cz kapsul lunak berbentuk cair.
Soal:
1. Kriteria bahan aktif yg bisa diformulasikan utk :
Kapsul Keras Kapsul Lunak
- Bentuknya kering, semisolid -> isinya serbuk, granul, butiran, tablet .
- Dpt diisi ddg bhn cair pi penutupan cangkang hrs tepat.
- Gak mengandung pelarut yg ngrusak cangkang.
- Stabil thdp pemanasan/pengeringan
- Homogen
- Inert thdp cangkang
- Zat aktif gak mudah teroksidasi - Bentuknya harus cair.
- Berupa minyak-minyak (lipofil).
- Kalo gak cair bisa pi sulit bwangd.
- Kalo hidrofil (PEG) boLe, pi jumlahnya hrs sekecil mungkin.
- Inert thd cangkang
- Zat aktif labil thdp pemanasan/pengeringan
- Zat aktif mudah teroksidasi


2. Kelebihan dan kekurangan kapsul keras dan lunak
Parameter Kapsul Keras Kapsul Lunak
Kelebihan - Isi lebih fleksibel
- Lebih mudah dlm pembuatan
- Lebih stabil
- Cangkang dapat diberi identitas
- Material yg dimasukkan lbh banyak - Dari segi bentuk, lebih menarik
- Dalam pemakaian lebih mudah, ex. suppositoria
- Penggunaan bisa bermacam-macam
- Cangkang dapat ditambah bahan pengharum

Kekurangan - Kurang steril
- Dari segi bentuk monoton
- Penggunaan sempit - Kestabilan jelek cz dalamnya cair
- Proses pabrikasi relatif lebih mahal
- Butuh profesionalisme yg lebih tinggi

3. Kontrol kualitas yg perlu dilakukan supaya kapsul memenuhi kualitas yg baik yaitu :
a. Cangkang harus inert (gak bereaksi dg isinya)
b. Kelembaban dari cangkang
c. Homogenitas (obat masih di luar, sebelum dimasukkan cangkang)
d. Keseragaman bobot (obat yg sudah dimasukkan ke dalam cangkang)
e. Keseragaman zat aktif
f. Elastisitas cangkang, misalnya pada kapsul lunak. Kapsul tersebut begitu keluar dr rol berupa pita. Dari pita itu yg diukur adl ketebalan pita.
g. Warna
h. Rasa, tekstur  kapsul lunak
i. Dissolusi (terlepas zatnya). Maksudnya terlepas obatnya  diabsorbsi tubuh  peredaran darah
Bahan dasar cangkang kapsul :
a. Gelatin : babi -> tulang (lbh elastis) & kulit; sapi (biasanya ditambah pelunak)
b. non gelatin -> selulosa atau bahan alam lain

tablet salut tipis

 Definisi: suatu bentuk pelapisan tipis dan merata pada suatu sediaan padat (tablet/granul) dengan bahan pelapis
 Umumnya dibagi dalam :
- enteric coating
- non enteric coating
 Telah digunakan pada saat proses sealing
 Merupakan kombinasi kegiatan science dan art
 Keuntungan film coating dibanding sugar coating:
1. Lebih ekonomis, efisien , cepat dan praktis
2. Lebih mudah otomatisasi
3. Penambahan berat sedikit (2% - 5%)
4. Tanda pada tablet dapat dipertahankan
5. Tidak diperlukan seal coat
6. Lebih tahan terhadap benturan
7. Tidak berpengaruh terhadap waktu hancur
8. Lebih baik penampilannya (lebih elegant)
9. Memungkinkan penggunaan non aquous coating solutions
 BAHAN UNTUK PENYALUTAN:
 Polimer pembentuk lapisan tipis ( film forming resins)
 Pelarut (solven) yang digunakan
 Plastisaiser untuk memodifikasi sifat polimer
 Zat warna, terutama untuk tujuan estetika
 FILM FORMING RESINS
 Harus dapat membentuk lapisan tipis yang rata (koheren) pada permukaan sediaan
 Larut dalam solven / campuran solven yang dikehendaki
 Larut dalam cairan gastro – intestinal
 Dapat menjaga stabilitas obat
 Meningkatkan estetika sediaan yang dilapis
 Bersifat inert, non toxic, tidak lekat
 Crack resistance

 MACAM POLIMER :
1. POLIMER GASTRO SOLUBEL, misal : hidroksipropil metil selulose (HPMC).
• Merupakan polimer yang larut dalam air, cairan lambung dan solven organik
• Dalam fungsinya sebagai penyalut,menunjukkan sifat mekanik yang cukup baik
• Mengandung 28-30% gugusan metil dan 7-12% gugusan hidroksi propil
• Dalam perdagangan dikenal dengan :methosel E5, E15 , pharmacoat 603, 606, 615
• Hasil penyalutan stabil terhadap panas, sinar, udara dan kelembaban
• Mudah dicampur dengan bahan pewarna atau bahan tambahan lain
• Penggunaan umumnya dengan konsentrasi sebesar 2 - 4% (50 cps)
• Untuk yang bertipe viskositas rendah, (3 - 15 cps) penggunaan berkisar 5 - 10 %
2. METHYL HYDROXYETHYLCELLULOSE
 Merupakan hasil reaksi methyl chloride dan ethylen oksida dengan selulosa alkali
 Hasil penyalutan sama dengan hpmc
 Larut dalam beberapa solven organik
3. ETHYL CELLULOSE
Merupakan hasil reaksi ethyl chloride dengan selulosa alkali
Biasanya dikombinasi dengan hpmc
Larut dalam beberapa solven organik
Nontoxic, tasteless, odorless dan stabil pada kondisi lingkungan
4. HYDROXYPROPYL CELLULOSE
 Larut dalam cairan gastrointestinal
 Problem yang dijumpai masalah kelengketan, terutama disaat pengeringan
 Lebih mudah larut dalam solven organik, dibanding derivat selulose larut air yang lain
 Hasil penyalutan dapat menghalangi gas dan kelembaban
5. POVIDON
 Larut dalam cairan gastrointestinal, dan solven organik
 Problem yang dijumpai masalah kelengketan, terutama disaat pengeringan. Pengatasan dengan menambah talk, atau plastisizer
 Mudah larut dalam solven organik, dan cairan gastro intestinal
 Non toksik, tidak berwarna, dan tidak berasa

6. CMC Na
 Hasil reaksi selulosa basa dengan na monochlor asetat
 Sebagai nonenteric water soluble polymer
 Problem yang dijumpai masalah penggunaan air sebagai solven-nya
 Tidak larut dalam solven organik
7. PEG
 Larut dalam cairan gastrointestinal, dan air
 Biasa dikombinasi dengan bahan lain (cap) untuk mendapatkan masa film yang baik
 Bm bervariasi dari yang rendah sampai tinggi
 Titik lebur rendah (40o c- 65oc), hati-hati pada proses dengan pemanasan
 Contoh lain: EUDRAGIT E
 Merupakan kopolimer metakrilat
 Resisten terhadap air liur
 Biasanya digunakan pada konsentrasi 3 – 6%
 Dalam pelarut organik tidak memerlukan plastisaiser, tetapi digunakan penambahan 3,5% talk dan 1% magnesium stearat

 MATERIAL ENTERIK
Fungsinya:
1. Untuk mencegah degradasi karena asam lambung (misal erythromycin)
2. Mencegah iritasi lambung akibat obat (misal na salisilat)
3. Untuk penggunaan lokal di intestinal (misal intestinal antiseptik)
4. Untuk penggunaan pelepasan obat yang terprogram
5. Untuk mendapatkan absorbsi maksimal di usus

MATERIAL ENTERIK YANG BAIK
SYARAT :
1. Impermeabel pada cairan gastrik
2. Larut dalam cairan usus (intestinal)
3. Non reaktif
4. Stabil pada penyimpanan
5. Menghasilkan lapisan tipis yang rata
6. Non toksik
7. Harga terjangkau

UJI ENTERIK TABLET MENURUT USP
1. Gojok pada cairan gastrik selama 60 menit pada temperatur 37oc
2. Harus hancur selama 2 jam + waktu hancur tablet inti yang dipersyaratkan dalam cairan intestinal artifisial pada 37oc-

MACAM BAHAN ENTERIK :
1. Shellac bebas arsen
 Tidak larut dalam ph asam
2. CAP (Cellulose Acetat Phtalat)
 Suatu polimer yang banyak digunakan sebagai enteric coating material
 Tidak larut dalam air , dan cairan lambung

POLIMER GASTRO RESISTEN
Misalnya: - Celulosa Asetat Phtalat (CAP)
- Hidroksipropil Metilselulosa Phtalat (HPMCP)
- Eudragit L dan S
POLIMER YANG TIDAK LARUT DALAM CAIRAN INTESTINAL
Misalnya: - Etil selulosa
- Eudragit RL dan RS

SOLVEN
 Fungsi utama solven adalah melarutkan polimer dan mendipersikan secara merata pada permukaan tablet
 Umumnya digunakan pada kondisi yang tidak jenuh
 Semakin tinggi konsentrasi cairan semakin kental, dispersi semakin sukar
 Kecepatan pengeringan solven perlu diperhatikan
 Contoh : air, etanol,metanol, khloroform,aceton

PLATISIZER
Fungsi utama melenturkan (fleksibilitas) polimer yang dilapiskan pada permukaan tablet
Bisa bentuk internal (pada saat pembentukan molekul polimer) atau eksternal
Pemilihan plastisizer eksternal didasarkan pada: afinitas solven, viskositas plastisizer, permeabilitas, toksisitas, rasa dan stabilitas
Contoh : gliserin, propilenglikol, castor oil

BAHAN TAMBAHAN LAIN
 Zat pewarna ditambahkan untuk mendapatkan warna yang diinginkan, agar lebih elegan dan sebagai ciri produk
 Bisa pewarna sintesis atau alami, misal khlorofil, antosian, carotenoid, dll
 Bila dikehendaki lapisan film tidak transparan, bisa ditambahkan opaquant-extenders, seperti : titan dioksida, magnesium karbonat, aluminium silikat






1. NON ENTERIC SOLUTION
R/ HIDROXYPROPYL METHYLCELLULOSE 30
PROPYLEN GLYCOL 1
ETHYL ALCOHOL 400 ml
METHYLENE CHLORIDE 1000 ml

2. ENTERIC SOLUTION
R/ CAP 50
POLYLETHYLEN GLYCOL 6000 150
SORBITAN MONO OLEAT 3
DYE YELLOW 0,5
TITANIUM DIOXYDE 5
VANILIN 1
CASTOR OIL 2,5
ETHYL ALCOHOL 120 ml
ACETON 1000 ml

3. ENTERIC SOLUTION
R/ CAP 120
PROPYLEN GLYCOL 30
SORBITAN MONO OLEAT 10
ETHYL ALCOHOL 450 ml
ACETON ad 1000 ml




OPADRY
 Suatu coating material yang terdiri dari
- pigment
- plasticiser
- polymer
 Aplication :
- standard film coatings
- moisture barrier coatings (opadry amb)
- enteric coatings
- taste and odour masking coatings