Kortisol atau hidrokortison adalah kortikosteroid hormon yang terdapat di dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh Zona fasciculata dan Zona reticularis dari korteks adrenal.
Kortisol merupakan hormon yang sangat penting yang sering disebut dengan stress hormon, karena dapat meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan kadar gula darah. Kortisol juga bersifat menekan imunitas, anti peradangan dan anti alergi dan merupakan suatu imunosupresan.
Pada farmakologi, bentuk sintesis dari kortisol disebut juga hydrocortison, dan digunakan sebagai anti alergi, anti inflamasi dan sebagai suplemen pengganti vitamin (difesiensi). Juga digunakan pengobatan rematik arthritis (rheumatoid arthritis)
RUMUS KIMIA : C21H30O5
IUPAC : 11,17,21-trihydroxy-,(11beta)-pregn-4-ene-3,20-dione
STRUKTUR KIMIA
Kortisol
STRUKTUR 3DIMENSI
Kortisol
PEMBENTUKAN KORTISOL
Kelenjar adrenal terletak di kutub superior kedua ginjal. Kelenjar ini beratnya kira-kira 4 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua bagian yang berbeda, yaitu : (1) Medula Adrenal yang berada di pusat, bagian ini kira-kira 20% dari keseluruhan kelenjar adrenal, berkaitan dengan sistem saraf simpatis, bertugas untuk mensekresi hormon epinefrin dan norepinefrin; (2) Korteks Adrenal. Stimulasi korteks oleh sistem saraf simpatetik menyebabkan dikeluarkannya hormon ke dalam darah yang menimbulkan respon “fight or flight”.
Korteks adrenal berada di luar dan berfungsi untuk mensekresi hormon kortikosteroid dan androgen. Hormon kortikosteroid dibagi menjadi : (1) Mineralkortikosteroid, contohnya aldosteron. Berfungsi mempengaruhi elektrolit (mineral) cairan ekstraseluler dan metabolisme Na & K. Volum cairan diatur melalui efek langsung pada collecting tubule, dimana aldosteron menyebabkan penurunan potensial transmembran, peningkatan aliran ion positif, seperti kalium, keluar dari sel ke dalam lumen. Ion natrium yang direabsorbsi diangkut keluar epitel tubulus dikirim ke dalam cairan interstisiel ginjal dan dari sana kedalam sirkulasi kapiler ginjal. Air secara pasif pengangkutan natrium; (2) Glukokortikoid, contohnya kortisol. Efek fisiologi glukokortikoid termasuk pengaturan metabolisme protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat. Peran kortisol dalam meningkatkan konsentrasi gula darah adalah dengan bekerja sebagai antagonis insulin dan dengan menekan sekresi insulin,dengan demikian menghambat ambilan glukosa perifer, mempromosikan sintesa glukosa hati (glukoneogenesis) dan meningkatkan kandungan glikogen hati. Glukokortikoid juga memiliki kandungan anti inflamasi yang berkaitan dengan efek mikrovaskulatur dan menekan sitokin inflamasi. (Guyton, 1997; Sjafii, 2007)
Glukokorticoid dikeluarkan oleh korteks kelenjar adrenal yang dikeluarkan kedalam sirkulasi secara circadian sebagai respon terhadap stress.Cortisol merupakan glukokortikoid utama didalam tubuh manusia.
Fungsi dan peran:
Efek terhadap semua sistem didalam tubuh,
1. Efek terhadap Metabolisme :
Karbohidrat : Meningkatkan glukoneogenesis
Mengurangi penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glucose
Lemak : Meningkatkan lipolisis dijaringan lemak
Pada penggunaan khronis dapat terjadi redistribusi sentral lemak didaerah dorsocervical,bagian belakang leher ( “ Buffalo hump “ ) muka ( “ moon face ” ) supraclavicular,mediastinum anterior dan mesenterium( 1,2 ).Mekanisme terjadinya redistribusi ini tidak jelas.
Protein : Meningkatkan pemecahan protein menjadi asam amino dijaringan
perifer yang kemudian digunakan untuk glukoneogenesis.
2. Efek terhadap proses keradangan dan fungsi immunologis:
Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh secara bermakna terhadap
proses keradangan dan penyembuhan( 2 ). Kelebihan glukokortikoid endogen dapat menekan fungsi immunologis dan dapat mengaktifasi infeksi latent. Efek immunosupressi ini digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimmune,proses inflammasi dan transplantasi organ.
Peran glukokortikoid dalam proses immunologis dan inflammasi( 2,3 ) adalah :
- Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat phospholipase A2
sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran
prostaglandin.
- Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini
terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular kedalam
limpa, kelenjar limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang.
- Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi,
tapi menghambat akumulasi netrofil pada daerah keradangan.
- Meningkatkan proses apoptosis
- Menghambat sintesis cytokine
- Menghambat nitric oxyd synthetase
- Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan differensiasinya menjadi makrofag
- Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag
- Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat keradangan
- Menghambat plasminogen activators ( PAs ) yang merubah plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
3. Efek glukokortikoid terhadap musculoskeletal dan Jaringan ikat :
Tulang :
- Pada pemakaian yang lama dapat menghambat fungsi osteoblast dan mengurangi pembentukan tulang baru menyebabkan terjadinya osteopenia.
- Meningkatkan jumlah osteoclast
- Secara tidak langsung mengurangi absorbsi calcium di saluran cerna
- Efek sekunder glukokortikoid juga meningkatkan Parathyroid hormon dalam serum.
- Meningkatkan ekskresi calcium di ginjal
Otot :
Glukokortikoid meningkatkan pemecahan asam amino dari otot untuk digunakan dalam glukoneogenesis,sehingga dalam pemakaian lama dapat menyebabkan kelainan otot ( myopathy ) yang berat.
Jaringan Ikat :
- Glukokortikoid menyebabkan supressi fibroblas DNA dan RNA, serta sintesis Protein .
- Juga menyebabkan supresi sintesis matriks intraselular (kolagen & hyalurodinat)
Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka, apalagi gerakan makrofag kedaerah keradangan juga menurun pada pemberian steroid yang lama sehingga akan mempersulit penyembuhan luka ( 1,2,3 ).
4. Efek neuropsychiatrik
Glukokortikoid mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku seperti pola tidur, kognitif dan penerimaan input sensoris. Pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada penderita yang mendapatkan steroid exogen sering menunjukkan euphoria, mania bahkan psikosis.
Penderita dengan insuffisiensi adrenal juga dapat menunjukkan gejala-gejala psikiatris terutama depresi, apati dan letargi.
5. Efek terhadap Saluran Gastrointestinal :
- Glukokortikoid mempunyai efek langsung terhadap transport ion natrium di colon melalui reseptor glukokortikoid.
- Pemakaian yang lama meningkatkan terjadinya resiko ulkus peptikum di saluran cerna bagian atas.Mekanisme terjadinya belum diketahui,mungkin melalui hambatan penyembuhan luka yang disebabkan factor-faktor lain.
Penggunaan dalam waktu singkat tidak akan menyebabkan terjadinya ulkus peptikum.
6. Efek terhadap pertumbuhan
Pada anak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan linier, penyebabnya belum diketahui secara pasti, diduga melalui hambatan hormon pertumbuhan
Efek pada paru : dapat merangsang pembentukan surfactant oleh sel pneumatosit II Efek anti inflammasi dan immunosupressi kortikosteroid adalah efek farmakologik utama yang banyak digunakan dalam pengobatan.
BIOSINTESIS KORTISOL
PROSES METABOLIT CORTISOL
Istilah KS berasal dari hasil penelitian awal yang menunjukkan adanya efek poten ekstrak korteks adrenal terhadap metabolisme glukosa dan glikogen. Dewasa ini telah tersedia berbagai preparat KS yang dapat diberikan melalui berbagai cara. (1-6).Biokimia/farmakologi orang dewasa mensekresi sekitar 20-30 mg kortisol per hari.
Lebih dari 90% KS dalam plasma diikat protein transkortin (corticosteroid binding globulinCBG) dengan afinitas kuat dan sekitar 5%-8% oleh albumin dengan afinitas rendah. Steroid yang diikat tidak aktif dan hanya sekitar 5% KS endogen dan 35% KS sintetik eksogen bebas dalam sirkulasi. Kemampuan transkortin untuk mengikat KS berubah bila KS diberikan untuk jangka waktu lama. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap sekresi KS endogen. KS adalah hormon steroid dengan 21-carbon yang aktivitasnya tergantung dari grup hidroksil pada rantai C-11. Dua KS terpoten yang banyak digunakan dalam praktek sehari-hari adalah kortison dan prednison yang mempunyai grup keto pada rantai C-11. Untuk menjadi aktif, keto rantai C-11 tersebut perlu dikonversikan terlebih dahulu in vivo (dalam hati) ke dalam bentuk hidroksil C-11 (kortisol/hidrokortison atau metilprednisolon). Pada pasien dengan penyakit hati, konversi prednison ke prednisolon terganggu, jumlah KS yang diikat protein plasma menurun dan akan meningkatkan kadar KS dalam darah. KS dimetabolisir di hati, ginjal mensekresi 95% metabolitnya dan sisanya dikeluarkan melalui saluran cerna. Berbagai preparat sintetis KS mempunyai masa paruh yang berbeda. KS dengan klirens yang lebih panjang akan cenderung lebih menimbulkan efek samping(1,3,4,7-9).SINTESIS DAN SEKRESI KS Sekresi KS endogen ada di bawah pengaruh sumbu hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Hipotalamus mensekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) yang merupakan regulator utama dari sekresi kortisol. Sekresi CRH terjadi dalam waktu yang pendek, puncaknya sekitar pukul 8.00 pagi dan terendah pada malam hari. CRH merangsang pituitari/ hipofisis anterior untuk mensekresi ACTH yang selanjutnya merangsang produksi adrenal untuk membentuk kortisol. Sistem ini merupakan mekanisme umpan balik. KS yang diberikan sinkron dengan puncak ACTH (pagi) tidak menunjukkan efek supresi sumbu HPA dibanding dengan pemberian sewaktu kadarnya terendah (malam). Dosis prednison >15 mg/hari akan menunjukkan efek supresi dalam seminggu. Dosis 7,5-15 mg/hari untuk 1 bulan biasanya tidak menurunkan produksi ACTH. Efek supresinya akan kurang lagi bila KS diberikan satu kali pada pagi hari. Lama supresi tergantung dari dosis dan lama pemberian(1,3,7,9).
MEKANISME KERJA
Setelah masuk dalam sirkulasi, KS bergerak pasif dan melintas membran sel sasaran. Di dalam sitoplasma sel tersebut, KS diikat reseptor (R) spesifik yang membentuk kompleks KSR yang dengan segera ditranslokasikan kenukleus untuk kemudian diikat oleh GRE (glucocorticoid response element) spesifik dalam kromatin. Kejadian ini menimbulkan transkripsi DNA yang membentuk transkrip messenger RNA spesifik (mRNA). Transkrip-transkrip tersebut mengalami proses postranskripsi yang kemudian diangkut ke sitoplasma sehingga terbentuklah protein baru. Reseptor KS ditemukan pada berbagai jenis sel (limfosit, monosit/makrofag, osteoblast, sel hati, sel otot, sel lemak dan fibroblast).Hal ini menerangkan me-ngapa KS memberikan efek biologik terhadap begitu banyak sel(1-3).Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 42 Gambar 1. Struktur kimia dari glukokortikoid(1,2,4).
PENYAKIT YANG DITIMBULKAN
Kelebihan kortisol (Hypercortisolism) : Cushing’s Syndrome
Kekurangan kortisol (Hypocortisolism) : Addison’s disease
Penyakit Addison (insufisiensi adrenortikal) terjadi jika kelenjar adrenal yang kurang aktif menghasilkan kortikosteroid dalam jumlah yang tidak memadai. Penyakit addison terjadi pada 4 dari 100.000 orang. Penyakit ini bisa menyerang segala usia, baik pria maupun wanita.
Sindrom Cushing adalah penyakit yang disebabkan kelebihan hormon kortisol. Nama penyakit ini diambil dari Harvey Cushing, seorang ahli bedah yang pertama kali mengidentifikasikan penyakit ini pada tahun 1912.
Penyakit ini ditimbulkan ketika kelenjar adrenal pada tubuh terlalu banyak memproduksi hormon kortisol. Penyakit ini juga dapat muncul akibat seseorang terlalu banyak mengkonsumsi obat yang yang mengandung kortikosteroid, yang biasanya digunakan untuk berbagai pengobatan penyakit yang akut.
Gejala sindrom Cushing antara lain:
• berat badan naik, terutama di sekitar perut dan punggung bagian atas;
• kelelahan yang berlebihan;
• otot terasa lemah;
• muka membundar (moon face);
• edema (pembengkakan) kaki;
• tanda merah/pink pada kulit bagian paha, pantat, dan perut;
• depresi;
• periode menstruasi pada wanita yang tidak teratur;
Penggunaan klinis
Prinsip-prinsip terapi :
1. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek samping, pertimbangkan dengan cermat untung ruginya
2. Dosis yang sesuai untuk mendapatkan efek theurapeutik. Pada pemberian yang lama diberikan dosis sekecil mungkin yang sudah memberi efek yang diinginkan.
Bila tujuan terapi hanya untuk mengurangi rasa sakit atau mengurangi gejala dan tidak menyangkut keselamatan jiwa pemberian steroid dapat dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap sampai efek yang diinginkan tercapai, tetapi pada kasus-kasus berat yang mengancam jiwa steroid diberikan dalam dosis tinggi untuk segera menghindari krisis yang mengancam jiwa.
Efek yang merugikan tubuh pada umumnya terjadi pada pemakaian steroid dalam waktu yang lama jarang terjadi pada pemberian dalam waktu yang singkat meskipun dalam dosis besar.
3. Penghentian terapi yang sudah berlangsung lama tidak boleh dilakukan secara mendadak karena dapat menyebabkan gejala insuffisiensi adrenal yang kadang-kadang fatal.Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam terapi steroid ditempuh beberapa cara yaitu :
- Diberikan secara alternate day dengan glukokortikoid short acting (prednison).
- Pulse therapy dengan dosis tinggi, yaitu diberikan dengan dosis tinggi dalam beberapa hari seperti pemberian methyl prednisolon 1 – 1,5 mg/hari selama 3 hari pada kasus-kasus immunologis yang berat seperti pada rejeksi akut pada transplantasi, necrotizing glomerulo nephritis, lupus nephritis.
Toksisitas
Ada dua kategori efek toksik akibat dari pemakaian
- Akibat penghentian terapi steroid
- Akibat penggunaan dosis tinggi ( suprafisiologis ) dan lama
1. Akibat yang bisa terjadi pada penghentian terapi steroid adalah
- Kambuhnya kembali penyakit yang kita obati
- Yang paling berat adalah insuffisiensi adrenal akut akibat penghentian terapi mendadak
setelah terapi steroid yang lama sehingga sudah terjadi supresi aksis HPA( Hypothalamus -
Pituitary-Adrenal ) yang tidak dapat segera berfungsi dengan baik
Terdapat variasi dari tiap individu mengenai berat dan lama supresi adrenal sesudah terapi kortiko
steroid sehingga sulit menentukan resiko relatif untuk terjadinya krisis adrenal pada tiap individu.
2. Akibat terapi steroid dosis suprafisiologis
Selain supresi aksis HPA akibat pemberian dosis suprafisiologis banyak kelainan-kelainan lain
yang bisa terjadi.
Pemakaian klinik:
1. Replacement therapy
2. Sebagai supresi sekresi androgen pada hiperplasi adrenal congenital ( CAH )
3. Terapi untuk kelainan-kelainan non endokrin ( penyakitn - penyakit ginjal, infeksi,
reaksi transplantasi, penyakit-penyakit rheumatik, allergi dsb ).
Replacement Therapy :
Terapi ini diberikan pada penderita-penderita yang menderita insuffisiensi adrenal baik yang akut maupun khronis, sekonder atau primer.Yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan kematian adalah insuffisiensi adrenal akut ( Adrenal Crisis ). Krisis adrenal ini seringkali disebabkan karena penyakit-penyakit adrenal jarang terjadi pada insuffisiensi sekunder dan sering terjadi karena penghentian mendadak terapi steroid yang lama dan dengan dosis tinggi.
Gejala-gejala krisis adrenal ditandai oleh gejala-gejala defisiensi glukokorticoid maupun mineralokortikoid gastrointestinal, dehidrasi, hiponnatremia, encephalopathy, hipercalcemia, asidosis metabolic, hiperkalemia, kelemahan, letargi dan hipotensi.
Penatalaksanaan krisis adrenal adalah
- Resussitasi : Terapi shock : Infus garam faali ( PZ )
- Hidrocortisone 75 - 100 mg/m2 IV bolus dilanjutkan dengan 50 - 75 mg/m2 dibagi dalam 3 kali pemberian, sesudah stabil dilanjutkan dengan 25 mg/ 6 - 8 jam i.m
- Pemberian mineralokortikoid DOCA ( Desoxycortisone acetate ) 1 – 5 mg/24 jam i.m, bila sudah dapat makan DOCA dapat diganti dengan Fluorohydrocortisone 0,05 - 0,1 mg/hari per oral
- Glukosa
- Koreksi kelainan elektrolit yang terjadi ( hiponatremia,hiperkalemia )
- Terapi terhadap factor pencetus seperti infeksi,trauma atau perdarahan.
Penggunaan pada penyakit - penyakit non endocrine :
Digunakan luas pada banyak kelainan-kelainan non endokrin dengan variasi penggunaan yang besar baik dalam pemilihan obat maupun dosisnya.
1. Penyakit – penyakit rheumatik/Collagen ( SLE, Polyarteritis nodusa )
2. Penyakit ginjal ( sindroma nefrotik, glomerulonephritis membranous )( 1,2,3 )
Glukokortikoid ( prednisone ) pada sindroma nefrotik sangat efektif dan banyak banyak digunakan. Predisone diberikan dengan dosis 60 mg/m2/hari dalam dosis terbagi selama 4 minggu kemudian dilanjutkan dengan 40 mg/m2/48 jam selang sehari diberikan dengan dosis tunggal pada pagi hari selama 4 minggu.Pengobatan selanjutnya tergantung respons penderita pakah terjadi remissi atau malah terjadi relaps
3. Penyakit - penyakit allergi ( 2,5 )
Onset of action glukokortikoid lama ( 6 – 12 jam ) karena itu pada reaksi alergi yang berat seperti reaksi anafilaksis yang paling penting adalah pemberian larutan epinephrine.
Pada reaksi alergi yang lebih lambat seperti serum sickness, urticaria,reaksi obat, sengatan lebah, angioneurotic edema dan hay fever glukokortikoid dapat diberikan
4. Asthma bronchiale ( 2,3 )
Pada asma bronchiale selain pemberian secara sistemik, pemberian juga diberikan seacara inhalasi terutama pada pemberian jangka lama.
Pada kasus-kasus asma berat ( status asthmaticus ) glukokortikoid diberikan secara intravena,
Pilihan obat secara IV untuk kasus-kasus berat adalah :
- hydrocortisone succinate 7 mg/kgBB I.V bolus, kemudian 7mg/kg/24 jam I.V
- Methyl prednisolone 2 mg/kg BB I.V bolus, kemudian 4 mg/kgBB/24 jam I.V
- Dexamethasone 0,3 mg/kgBB I.V dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/24 jam
- Betamethasone 0,3 mg/kgBB I.V dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/24 jam
Glukokortikoid yang diberikan perinhalasi adalah
Fluticasone propionate 50 – 100 Ug/hari
Beclomethasone dipropionate 300 ug/hari
Budesonide 100 – 200 ug/hari
Triamcinolone acetonide
Croup ( laryngitis,epiglottitis ) : dexamethasone 0,5 mg/kg/24 jam I.V, 3 kali/hr selama 2 hari
5. Infeksi
Meskipun berlawanan dengan efek immunosupresi glukokortikoid masih digunakan pada keadaan - keadaan tertentu dengan perlindungan antibiotika, seperti pada meningitis yang disebabkan oleh H.Influenzae tipe B dan penderita AIDS dengan pneumonia karena Pneumocystis Carinii dengan hipoksia. Pada kasus demam typhoid berat dengan komplikasi syok, encephalopathy pemberian dexa methasone 3 mg/kg BB bolus kemudian dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam dapat menurunkan kematian secara bermakna. TBC : Tbc endobronchial : predisone 1 – 2 mg/kgBB/hari selama 1 – 3 bulan,diberikan bersama obat-obat anti tbc akan mempercepat regressi pembesaran kelenjar limfe endobronchial dan mencegah terjadinya fibrosis.
Tbc Milier : Prednisone 1 – 2 mg/kg/hari selama 1 – 3 bulan
Pleuritis Tbc : Prednisone 1 - 2 mg/kg/hari selama 1 bulan
Jenis-jenis tbc yang lain yang membutuhkan terapi steroid adalahTbc pericard, Tbc peritoneum dan meningitis tbc.Pada meningitis tbc diberikan prednisone 1 - 2 mg/kg hari 1 – 3 bulan.
6. Penyakit-penyakit mata
Pemberian topical glukokortikoid hanya diberikan pada kelainan- dibagian luar mata serta pada segmen anterior mata, untuk kelainan-kelainan pada segmen posterior diberikan glukokortikoid sistemik. Pemberian topical glukokortikoid dapat meningkatkan tekanan intraokular, oleh karena itu perlu pengawasan tekanan intraokular pada pemakaian glukokortikoid lokal lebih dari dua minggu ( 2 ).
7. Penyakit kulit ( 2 )
Pada dasarnya pemakaian kortikosteroid topical pada kulit anak tidak berbeda dengan dewasa, namun karena perbedaan sifat kulit anak yang lebih tipis,kurang bertanduk, ikatan antar sel yang lebih longgar mempermudah obat masuk kedalam kulit sehingga kita tetap harus hati-hati memberikan glukokortikoid topical karena bisa memberi efek sistemik yang tidak diinginkan.
Kortikosteroid topical yang aman pada anak adalah golongan kortikosteroid intermediate, lemah antara lain prednikarbate krim,flucinolone acetonide, methylprednisolone,triamcinolone acetonide krim,desonide krim dexamethasone krim dan hydrocortisone krim.
Pemberian pemakaian yang lama dapat menyebabkan atropi,teleangiectasia, striae, papula.
8. Penyakit-penyakit gastrointestinal (Colitis ulcerative chronis, Chron’s disease)
9. Penyakit-penyakit hati
Penggunaan glukokortikoid pada penyakit- penyakit hati masih controversial, tetapi pada penyakit - penyakit subacute necrosis dan autoimmune seperti chronic active hepatitis pemberian glukokortikoid ( prednisone ) menunjukkan remissi secara histologis pada 80% dari penderita. Pada penyakit hati yang berat prednisolone lebih baik dari prednisone karena prednisone masih harus dirubah menjadi bentuk aktif di hati ( 2 ).Penderita-penderita chronic active hepatitis dengan positif HbSAg jangan diberi terapi glukokortikoid karena akan memperlambat penyembuhan, lebih sering terjadi komplikasi dan angka kematian lebih tinggi.
Pemberian glukokortikoid juga dipakai pada drug induce hepatitis meskipun belum banyak penelitian mengenai efektivitasnya.
10. Pada kelainan-kelainan hematologi dan onkologi
Glukokortikoid dipakai pada kelainan-kelainan hematology seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP ), anemia aplastik dan autoimmune hemolytic anemia ( AIHA )( 1,2,3 ).
ITP adalah suatu autoimmune disease, pada 90% penderita ITP didapatkan ikatan antibodi
( terutama IgG ) dengan trombosit. Ikatan antara antibody dan thrombosit ini kemudian akan difagositosis sehingga umur trombosit menjadi lebih pendek, glukokortikoid berfungsi mencegah proses fagositosis ini.
Pada ITP ( trombositopenia purpura idiopatik ) dengan gejala-gejala perdarahan diberikan prednison 2 mg/kgBB selama 4 minggu,kemudian diturunkan secara bertahap.
Demikian juga dengan penyakit anemia aplastik diberikan prednison 2 mg/kg BB bersama dengan terapi nandrolone decanoate.
Glukokortikoid dipakai sebagai chemotherapy pada acute lymphoblastic leukemia dan lymphoma oleh karena glukokortikoid mempunyai efek limfolitik.
Glukokortikoid sering dipakai bersama chemotherapy lain dalam protocol terapi keganasan.
11. Udema otak
Mekanisme kerja otak dalam mengurangi udema otak belum jelas, beberapa hipotesis dikemukakan antara lain :
a. Memperbaiki metabolisme otak dengan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga
konsumsi glukosa dan oksigen ke otak membaik dan udema berkurang.
b. Perbaikan sawar darah otak dengan cara mencegah pemecahan asam lemak tidak jenuh
oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas phospholipase A2, sehingga pembentukan
prostaglandin bisa dicegah.
c. Efek antiinflammasi akan menghambat produksi mediator inflammasi.
Dexamethason merupakan pilihan utama karena efek antiinflammasi yang besar dan tidak didapatkan efek retensi natrium.Dexamethason sangat efektif pada edema vasogenik akibat tumor. Dosis yang diberikan 0,1 – 0,2 mg/kg/6jam. Pemberian dexamethason pada edema sitotoksik masih kontroversi dan tidak memberikan efek yang menguntungkan, demikian juga dengan udema karena trauma dan stroke.
12. Shock
Walaupun glukokortikoid banyak dipakai pada pengobatan shock, tetapi indikasi pemberian glukokortikoid adalah pada shock dengan defisiensi cortisol. Indikasi lain adalah pada septic shock meskipun masih banyak silang pendapat mengenai hal tersebut. Mekanieme kerja glukokortikoid pada septic shock belum diketahui secara pasti,mungkin melalui :
a. Perbaikan perfusi jaringan.
b. Memperkuat dinding sel
c. Memperkuat integritas sel endotel
d. Stabilisasi membran lisosom
e. Menurunkan resistensi perifer
f. Mempunyai efek inotropik pada otot jantung
Diberikan methylprednisolone 30mg/kgBB atau dexamethasone 3 – 6 mg/kgBB secara I.V
dapat diulang tiap 4 – 6 jam sampai 3 kali pemerian.
13. Penyakit-penyakit lain ( sarcoidosis, sindroma Guillain Barre )
14. Transplantasi organ
Pada transplantasi organ glukokortikoid diberikan dengan dosis tinggi pada saat operasi diberikan bersama immunosupressif lain kemudian diteruskan dengan dosis maintenance.
15. Stroke dan trauma spinal cord
Pemberian methylprednisolone dalam 8 jam sesudah trauma ternyata dapat menurunkan incidence sequelae neurologis secara bermakna. Glukokortikoid dosis tinggi dapat melindungi tubuh terhadap efek radikal bebas yang keluar sesudah trauma sellular .
DAFTAR PUSTAKA
Cash JM, Hoffman GS. Glucocorticoid. Dalam: Rich RR, Fleisher TA, Schwartz BD, Shearer WT, Strober W (eds). Clinical Immunology Principles and Practice. St.Louis. Mosby. 1996; 1947-58.
Guyre PM, Munch A. Glucocorticoids. Dalam: Delves PJ, Roitt IM (eds). Encyclopedia of Immunology. Second Ed. Academic Press Limited. 1998; 996-1001.
Goldstein RA, Bowen Dl, Fauci AS. Adrenal Corticosteroid. Dalam: Gallin Jl, Goldstein IM, Snyderman R (eds). Inflammation: Basic Principles and Clinical Correlates. Ed.2 NY. Raven Press. 1992; 1061-82.
Goodwin JS. Anti-inflammatory Drugs. Dalam: Stites DP, Terr AI, Parslow TG (eds). Basic & Clinical Immunology. Norwalk: Appleton & Lange. 1994; 786-94.
Miner JN, Brown M. Glucocorticoid Action. Dalam: Austen KF, Burakoff SJ, Rosen FS, Strom TB. Therapeutic Immunology. Second Ed. Blackwell Science, 2001; 103-16.
Kirou KA, Boumpas DT. Systemic Glucocorticoid Therapy in SLE. Dalam: Dubois' Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (eds). Lippincott William & Wilkins, 2002; 1173-94.
Kimberly RP. Steroid use in Systemic Lupus Erythematosus. Dalam: Lahita RG (ed). Systemic Lupus Erythematosus. NY: Churchill Livingstone 1992; 907-32.
Tjay TH, Rahardja K. ACTH dan Kortikosteroida. Dalam: Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi Kelima. PT Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia-Jakarta. 2000; 679-91.
Internet.
http://ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/abstract/176/9/913
http://id.wikipedia.org/wiki/Sindrom_Cushing
http://muel-muel.blogspot.com/2008/05/kelenjar-adrenal.html
http://www.journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php?id=936&med=2&bid=3
http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=11&iddtl=762
http://www.nature.com/ijo/journal/v28/n9/abs/0802715a.html
Part of the cortisone administered is excreted in the urine unchanged or as hydrocortisone.
Selasa, 02 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo tulis komentar donk